Minggu, 10 April 2011

PUISI BANJAR GENRE LAMA BERJENIS SYAIR AGAMA

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.

KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf

SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.

SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.






SYAIR AGAMA
Syair agama, syair dengan tema cerita tentang masalah keagamaan, seperti Syair Mayat (karangan Haji Pangeran Musa), dan Syair Limbangan

SYAIR MAYAT
Alkisah tersebut suatu madah
Menghabarkan nyawa tatkala pindah
Tubuh lesu urat pun lemah
Jangan lupa akan dzikir Allah

Tiadalah kami banyak kata
Sekedar mengambil simpun cerita
Kabar ini sudah banyak di peta
Istimiwa di kitab segala pendeta

Tatkala disual Mungkar dan Nangkir
Menjawab tiada lagi berfikir
Itikadnya syah amalnya mahir
Lidahnya fasih menyebut dzikir

Nugraha Tuhan adzidzul ghafur
Ketika mati terasa umpama tidur
Sungguhpun terhantar di dalam kubur
Rasa-rasa berbaring di atas kasur
(Sunarti dkk, 1978:203)

SYAIR LIMBANGAN

Bismillah itu mulanya firman
Telah tersurat maknanya Qur’an
Terang di hati jatuh ke tangan
Dengan takdir nugraha Tuhan

Pahalanya sembahyang tiada kepalang
Sepuluh perkara yang terbilang
Kepada iman menjadi tiang
Lagi di akherat berat ditimbang
(Sunarti dkk, 1978:203)

FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.

SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.



DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.

BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar