Kamis, 14 April 2011

NASIB BURUK SASTRA BANJAR
DI BAWAH TEKANAN HEGEMONI SASTRA INDONESIA

DEFINISI SASTRA BANJAR DAN SASTRAWAN BANJAR
Sastra Banjar adalah semua jenis karya sastra yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Sastrawan Banjar adalah siapa saja yang mampu melisankan atau menuliskan salah satu jenis karya sastra berbahasa Banjar kapan saja (pada masa lalu, masa kini, atau pada masa yang akan datang), dan di mana saja (tidak mesti di Kalsel).
Dari sekian banyak definisi sastra Banjar dan sastrawan Banjar yang telah dirumuskan orang selama ini, pemakalah memilih versi sebagaimana yang dikutipkan di atas. Pemakalah berpendapat definisi itulah yang paling tepat dipilih dalam kaitannya dengan kepentingan strategi kebudayaan.
Sastra Banjar meliputi semua jenis karya sastra, tidak dibedakan antara yang bergenre lama dengan yang bergenre baru. Tidak dibedakan antara yang lisan (sastra lisan) dengan yang tertulis (sastra tulis). Tidak dibedakan berdasarkan latar belakang apa siapa sastrawannya (antara yang anonim dengan yang nonanonim, atau antara yang bersuku Banjar dengan yang bukan bersuku Banjar). Tidak dibedakan berdasarkan kurun waktu pelisanannya atau penulisannya (pada masa lalu, masa kini, atau pada masa yang akan datang). Tidak dibedakan berdasarkan lokasi pelisanan atau penulisannya (di Kalsel atau di luar Kalsel). Hanya satu syarat yang wajib dipenuhi, yakni berbahasa Banjar.
Siapa saja berhak diakui atau mengakui dirinya sebagai sastrawan Banjar jika yang bersangkutan mampu melisankan atau menuliskan salah satu jenis karya sastra berbahasa Banjar di mana saja, dan kapan saja.

KHASANAH SASTRA BANJAR GENRE LAMA
Etnis Banjar tidak memiliki sistem aksara sendiri, mereka baru mengenal sistem aksara Arab sejak tahun 1526. Hanya saja kemampuan baca tulis dalam huruf Arab ini tampaknya juga tidak diberdayakan sebagaimana mestinya, terbukti tidak banyak ditemukan peninggalan-peninggalan dalam bentuk informasi yang dituliskan dengan huruf Arab pada batu, daun, kayu, logam, dan kertas. Hikayat Banjar boleh jadi merupakan karya sastra berbahasa Banjar pertama yang dituliskan orang di Kerajaan Banjar. Menurut JJ Ras (1968:181) Hikayat Banjar selesai ditulis pada tahun 1728.
Langkanya peninggalan lama berupa karya sastra berbahasa Banjar yang dituliskan dalam bentuk buku-buku merupakan petunjuk bahwa para sastrawan Banjar pada zaman dahulu kala lebih senang menjalani profesinya secara oralitas (sastrawan lisan) bukan secara literalitas (sastrawan tulis).
Ada sejumlah jenis karya sastra yang dikenal dalam khasanah sastra Banjar genre lama, yakni andi-andi, bacaan (mantra Banjar), dongeng Banjar, dundam, hikayat Banjar, kisah Banjar, lamut, legenda Banjar, madihin, mitologi Banjar, pandung, pantun, paribasa, syair, dan surat tarasul (surat cinta berbentuk puisi).
Semua jenis karya sastra berbahasa Banjar dimaksud tidak ada yang dituliskan di atas batu, daun, kayu, logam, atau kertas, tetapi langsung dibacakan di depan forum dengan mengandalkan kemampuan mereka dalam menghapal dan mengolah rangkaian kosa-kata dengan sistem formulaik yang dikuasainya. Sistem pewarisannya dari generasi ke generasi juga dilakukan dengan cara dibacakan oleh guru untuk kemudian dihafalkan oleh muridnya.
Tradisi oralitas yang demikian itu membuat semua jenis karya sastra bergenre lama menjadi sangat rentan terhadap ancaman kepunahan. Kegiatan pelisanan dan penulisan andi-andi, bacaan, lamut, pandung, syair, dan surat tarasul pada kurun waktu 1980-2009 ini sudah relatif jarang dilakukan orang.. Ada 3 jenis karya sastra Banjar bergenre lama yang masih agak sering dilisankan orang, yakni madihin, pantun, dan paribasa.
Kesenian madihin masih sering dipertunjukan orang dengan tokohnya yang paling populer Jon Tralala dan anaknya Hendra. Kegiatan bertukar pantun masih sering dilakukan sebagai bagian dalam tradisi maatar patalian (mengantar barang pinengset untuk calon mempelai wanita). Sejak tahun 2001, TVRI Banjarmasin menggelar mata acara Baturai Pantun. Acara yang disiarkan pada setiap hari Selasa ini di pandu oleh 3 host utama, yakni John Tralala (M Yusransyah), Eli Rahmi, dan Anang. Sementara itu, paribasa, masih sering dilisankan orang dalam percakapan-percakapan informal dan masih sering pula dituliskan orang sebagai selipan pemanis dalam tausiah para ulama, atau dalam pidato formal informal para penjabat dan tokoh masyarakat.

KHASANAH SASTRA BANJAR GENRE BARU
Khasanah sastra Banjar genre baru meliputi semua jenis karya sastra berbentuk puisi, prosa fiksi, dan drama yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Jika sastra Banjar genre lama pada umumnya dituliskan dalam huruf Arab, maka sastra Banjar genre baru semuanya ditulis dalam huruf Latin.
Etnis Banjar mulai berkenalan dengan huruf Latin sejak tahun 1860, yakni sejak Kerajaan Banjar dihapuskan secara sepihak oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Sejak itu pula nama teritorial bekas wilayah Kerajaan Banjar ini diganti menjadi Keresidenan Borneo Selatan. Pada tahun 1930-an, ditemukan fakta otentik huruf Latin sudah digunakan oleh para sastrawan yang tinggal di Borneo Selatan sebagai sarana untuk menuliskan puisi dan prosa fiksi berbahasa Melayu (Indonesia)
Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan sastrawan Banjar mulai mempergunakan huruf Latin sebagai sarana untuk menuliskan karya sastra berbahasa Banjar. Sementara belum ada tahun yang pasti, Ganie (2010) menetapkan tanggal 2 Agustus 1971 sebagai patokan awal dimulainya sejarah penulisan karya sastra genre baru berbahasa Banjar.
Dasar penetapannya menurut Ganie (2010) adalah fakta bahwa sejak tanggal 2 Agustus 1971, SKH Banjarmasin Post mulai memuat cerita humor serial lepas yang ditulis dalam bahasa Banjar dengan tokoh utamanya Si Palui. Sejak itu hingga sekarang ini, SKH Banjarmasin Post setiap hari memuat satu judul cerita Si Palui. Secara struktural cerita humor Si Palui memenuhi kriteria sebagai karya sastra genre baru yang ditulis dalam bahasa Banjar, yakni sebagai cerpen Banjar modern.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan penulisan karya sastra berbahasa Banjar di Kalsel belumlah menggembirakan secara kuantitatif dan kualitatif jika dibandingkan dengan kegiatan penulisan karya sastra berbahasa Indonesia. Jumlah sastrawan Kalsel yang terdaftar dalam Antologi Biografi Sastrawan Kalsel 1930-2009 (Ganie, 2010) ada sebanyak 543 orang. Namun, dari jumlah itu, hanya sekitar 50 orang saja yang pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar.
Minimnya jumlah sastrawan Kalsel yang bergiat sebagai penulis karya sastra berbahasa Banjar menjadikan sastra Banjar sebagai entitas yang marginal di Kalsel. Nasib buruk sastra Banjar yang demikian itu tidak bisa tidak berkaitan erat dengan tekanan hegemonik sastra Indonesia yang begitu kuat di Kalsel. Fakta ini menunjukan adanya problema tertentu dalam upaya menegakkan eksistensi sastra Banjar di Kalsel yang notabene berstatus sebagai pusat kebudayaan Banjar di muka bumi ini.
Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:85) berpendapat setidak-tidaknya ada 4 persoalan yang dihadapi sastra Banjar, yakni : (1) pengarang, (2) pembaca, (3) media penerbitan, dan (4) kritik sastra.

Problema Dari Sisi Sastrawan Banjar
Problema yang dihadapi sastra Banjar dari sisi pengarangnya, antara lain belum dikuasainya teknis penulisan karya sastra berbahasa Banjar oleh mayoritas sastrawan Banjar sendiri. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, jumlah 543 sastrawan Kalsel yang terdaftar dalam buku Antologi Biografi Sastrawan Kalsel 1930-2009 (Ganie, 2010), cuma sekitar 50 orang saja yang pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar. Padahal, para sastrawan Kalsel inilah yang mestinya paling banyak menguasai jurus-jurus penulisan karya sastra berbahasa Banjar, karena mereka secara demografis tinggal di pusat kebudayaan Banjar.
Memang, tidak semua sastrawan Kalsel, termasuk yang berdarah Banjar sekalipun, mampu bolak-balik dalam menulis karya sastra, sekali waktu menulis karya sastra berbahasa Indonesia dan pada kali yang lain menulis karya sastra berbahasa Banjar. Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:36) memuji A. Rasyidi Umar, Bachtiar Sanderta, M. Rifani Djamhari, YS Agus Suseno, dan M. Fitran Salam sebagai sastrawan Kalsel (Indonesia) yang mampu melakukan proses kreatif bolak-balik dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia dan Banjar.
Penulisan karya sastra berbahasa Banjar memang tidak dapat dilakukan dengan menerapkan teknik alih bahasa atau alih kode dengan cara menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia (atau bahasa lainnya). Hal ini mengingat, struktur konsep berpikir dalam bahasa Indonesia sama sekali berbeda secara alamiah dengan struktur konsep berpikir dalam bahasa Banjar. YS Agus Suseno seorang sastrawan Kalsel yang terkenal piawai menulis cerpen-cerpen Banjar modern bahkan menabukan teknik alih bahasa dan alih kode semacam itu dalam proses kreatif penulisan cerpen Banjar modern.
Berkaitan dengan problema yang dihadapi para sastrawan dalam konteks proses kreatif penulisan karya sastra berbahasa Banjar ini, Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan (2006:28-29) memberikan 5 kiat sukses, yakni :
(1) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, karena karya sastra berbahasa Banjar yang tinggi mutunya sangat ditentukan oleh kemampuan sastrawannya mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, setidak-tidaknya dalam komunikasi pasif melalui tulisan.
(2) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kerangka berpikir menurut konsep berpikir yang berlaku dalam bahasa Banjar. Hal ini mengingat, bahasa Banjar juga memiliki seperangkat idiom atau ungkapan lokal yang khas yang tidak dapat diterjemahkan atau diekspresikan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya.
(3) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kosa-kata bahasa Banjar berikut jangkuan semantis untuk setiap kosa-kata bahasa Banjar itu sendiri. Kemampuan pribadi ini dapat diasah melalui pengalaman lingistik dalam pergaulan sehari-hari atau melalui kegiatan pembacaan atas Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul Djebar Hapip.
(4) Meningkat kemampuan pribadi dalam menguasai pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar, baik dengan cara bergaul langsung ke tengah-tengah masyarakat atau melalui proses pembacaan buku-buku yang berisi paparan menyangkut tema dimaksud. Pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar ini sangat membantu sastrawan yang bersangkutan dalam menggambarkan warna lokal budaya Banjar secara lebih alami dan meyakinkan yang dalam karya sastra berbahasa Banjar yang ditulisnya.
(5) Meningkatkan pengetahuan tentang teknik-teknik penulisan karya sastra modern dengan cara mempelajari buku-buku teori penulisan karya sastra, kritik sastra, dan mempelajari karya sastra hasil karya para sastrawan lain.

Problema Dari Sisi Pembaca Karya Sastra Berbahasa Banjar
Burhanuddin Soebely (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:119) bersaksi bahwa pada saat berlangsungnya sessi tanya jawab peluncuran antologi cerpen berbahasa Banjar (kisdap) Galuh karangan Jamal T. Suryanata, seorang pelajar SMA dengan polos mengatakan bahwa ia kurang dapat mengapresiasi kisdap-kisdap yang dimuat di dalam Galuh karena bahasa Banjar yang dipakai banyak yang tidak dimengerti. Dia kemudian memberikan solusi agar kisdap-kisdap itu diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia. Pokok soal kasus ini bukanlah keengganan mengapresiasi, melainkan pada bahasa. Logikanya, jika sastra Banjar diperkenalkan secara dini dan intensif, atau langkah programatis lainnya, maka jembatan apresiasi akan menjadikan sastra Banjar berumur panjang
Selain itu, dalam lingkup sosial yang lebih luas, kasus ini merupakan petunjuk bahwa bahasa Banjar merupakan bahasa yang kurang begitu banyak dipergunakan di kalangan generasi penerus di Kalsel yang notabene berstatus sebagai pusat kebudayaan Banjar di muka bumi ini. Jumlah kosa-kata bahasa Banjar yang dikuasai oleh masyarakat pembaca karya sastra di tingkat generasi penerus ini masih sangat kurang. Ini berarti harus ada upaya bersama atau semacam strategi budaya untuk menciptakan situasi kondusif yang memungkinkan bahasa Banjar tetap dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang fungsional di Kalsel.
Sastra Banjar di masa depan akan menghadapi masa-masa kekurangan pembaca jika semakin hari semakin sedikit saja generasi penerus di Kalsel ini yang dapat mengerti bahasa Banjar. Padahal, sastra Banjar membutuhkan khalayak pembaca, tanpa khalayak pembaca yang memadai, sastra Banjar tidak akan dapat dimaknai secara sewajarnya bagaimana mestinya.
Berkaitan dengan jumlah pembaca yang relatif minim, sementara tingkat kesulitan dalam menuliskannya yang juga relatif tinggi, maka bukanlah hal yang kebetulan jika para sastrawan Kalsel yang tinggal di pusat kebudayaan Banjar ini sendiri lebih suka atau lebih tergoda untuk memilih menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dari pada dalam bahasa Banjar.
Menurut Burhanuddin Soebely (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:100), menulis dalam bahasa Indonesia, selain dorongan dari dalam juga merupakan pilihan politis dan pilihan ekonomis. Pilihan politis, karena di situ merupakan wahana pengembangan bakat dan penegasan eksistensi dalam jagat Indonesia, sebab ternyata sastra nasional bukanlah puncak-puncak sastra daerah. Pilihan ekonomis, karena di situ terbuka banyak ruang untuk memuat karya dan mendapatkan konpensasi atawa honorarium. Sementara menulis dalam bahasa Banjar lebih pada pilihan historis dan pilihan kultural emosional agar tidak kehilangan akar sejarah.

Problema Dari Sisi Media Penerbitan Karya Sastra Berbahasa Banjar
Bahasa Banjar tidak pernah menjadi bahasa pergaulan yang fungsional di tingkat koran/majalah. Sejak awal dimulainya sejarah penerbitan surat kabar di Kalsel pada tahun 1930, tidak pernah ada koran/majalah berbahasa Banjar. Beda misalnya dengan yang terjadi di Tanah Jawa atau Tatar Sunda, sampai sekarang masih ada koran.majalah berbahasa Jawa atau Sunda. Koran/majalah berbahasa Jawa dan Sunda inilah yang menjadi tempat publikasi utama karya sastra berbahasa Jawa dan Sunda.
Fakta ini menunjukan sastra Banjar sampai sekarang masih belum memiliki rumah yang nyaman di tingkat koran/majalah. Kecuali cerita Si Palui yang sejak tahun 1971 sudah menempati rumah tinggal yang nyaman di SKH Banjarmasin Post, karya sastra Banjar lainnya masih harus disibukan oleh urusan mencari rumah tumpangan di berbagai koran/majalah yang terbit di Kalsel. Untunglah, sekarang ini masih ada SKH Radar Banjarmasin dan SKH Media Kalimantan yang berkenan memberi tempat singgah bagi karya sastra berbahasa Banjar, jika tidak, ke mana lagi para sastrawan Banjar memublikasikan karya sastranya (ke laut?).
Belum adanya koran/majalah yang sepenuhnya berbahasa Banjar membuat para sastrawan Kalsel lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra dalam bahasa Indonesia dapat dikirim ke mana saja ke seluruh Indonesia, bahkan juga ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Bila nasib baik, karya sastra karangan mereka dimuat di berbagai koran/majalah terkemuka terbitan ibukota, dan selanjutnya karya sastranya dibicarakan dan dipuji oleh para kritikus sastra terkemuka.
Tidak hanya itu, seiring dengan semakin tingginya reputasi kesastrawanannya, para penerbit berlomba-lomba untuk menerbitkan buku karya sastranya yang memang laku keras di pasaran, para penyelenggara forum sastra di tingkat nasional silih berganti mengundang kehadirannya, nama dan biografinya ikut dimuat dalam ensiklopedi sastra, buku pintar sastra, buku sejarah sastra, dan buku karya sastra karangannya diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Peluang untuk meraih reputasi semacam itu tidak mungkin dapat diraihnya melalui jalur penulisan karya sastra berbahasa Banjar.
Karya sastra berbahasa Banjar dapat saja disebar-luaskan dalam bentuk buku seperti yang dilakukan oleh Jamal T. Suryanata dan M. Fitran Salam. Tapi risikonya besar sekali, modal besar yang ditanamkan untuk menerbitkan buku semacam itu belum tentu kembali dalam tempo setahun atau dua tahun. Para penerbit buku yang profit bisnis tentunya harus berpikir beberapa kali jika ingin menerbitkan buku-buku sastra berbahasa Banjar. Sampai sejauh ini, menulis karya sastra berbahasa Banjar masih merupakan proyek idealis yang identik dengan kerugian material.
Sungguh, tidak pada tempatnya jika risiko kerugian material semacam itu masih harus ditanggung lagi oleh para sastrawan Banjar. Bayangkan, ketika masih dalam proses kreatif penulisannya tempo hari, sastrawan Banjar yang bersangkutan sesungguhnya sudah mengorbankan waktu istirahatnya, waktunya untuk bercengkrama dengan anak-anak dan istrinya-istrinya (sebanyak 4 orang, hehehe), dan bahkan juga mengorbankan waktunya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Tetapi begitu selesai ditulis karya sastra berbahasa Banjar itu terpaksa dibukukan dengan biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi sastrawan Banjar yang bersangkutan.
Mungkin sudah waktunya di Kalsel ini ada semacam lembaga patron yang berani mengambil alih risiko kerugian material berkaitan dengan penerbitan karya sastra berbahasa Banjar. Patron di sini bisa pemerintah daerah, bisa Dewan Kesenian Daerah, bisa Lembaga Budaya Banjar, bisa lembaga nirlaba kesusastraan Banjar, dan bisa pula perorangan yang banyak memiliki uang berlebih.

Problema Dari Sisi Kritik Sastra Terhadap Karya Sastra Berbahasa Banjar
Tradisi kritik sastra terhadap karya sastra berbahasa Banjar belum terbentuk sebagaimana mestinya di Kalsel. Puluhan atau bahkan ratusan karya sastra berbahasa Banjar yang sudah dipublikasikan di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra sampai sekarang ini belum pernah terkena sentuhan kritik para kritikus sastra. Sampai sejauh ini, karya kritik sastra semacam ini hanya ditulis oleh Jarkasi, M. Yusransyah, Tajuddin Noor Ganie, dan Sainul Hermawan saja. Kegiatan penulisan kritik sastra terhadap sastra Banjar di berbagai koran/majalah terbitan kota Banjarmasin tampaknya masih harus semakin digiatkan lagi.
Fakta yang sama juga terjadi di bidang penerbitan buku teks dan kritik sastra terhadap sastra Banjar. Jumlah buku yang mengulas perihal sastra Banjar masih relatif sedikit. Berikut ini adalah judul buku berkenaan dengan sastra Banjar yang pemakalah ketahui.
1. Sastra Lisan Banjar (Sunarti dkk, 1978),
2. Pantun Banjar (Jarkasi, 1996),
3. Struktur Mamanda (Jarkasi, 1976),
4. Struktur Sastra Lisan Madihin (Jarkasi, 1997),
5. Kajian Prosa Fiksi Drama (Jarkasi, 1999),
6. Kajian Seni Karakter Tokoh Tokoh Idaman Dalam Cerpen Banjar Modern (Jarkasi dan Djantera Kawi, 2000),
7. Struktur Lamut (Jarkasi, 2000),
8. Retorika Pantun Dalam Sistem Kritik Masyarakat Banjar (Jarkasi, 2001),
9. Mamanda : Dari Realitas Tradisional ke Kesenian Populer (Jarkasi, 2002).
Apresiasi akademik berupa penulisan skripsi dan tesis oleh para mahasiswa di Program S.1 dan S.2 PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dan Program S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin juga masih kalah jumlah dibandingkan dengan apresiasi akademik yang mereka berikan terhadap sastra Indonesia.
Berikut ini adalah daftar skripsi tentang sastra Banjar yang tersimpan di Perpustakaan STKIP PGRI Banjarmasin yang sempat pemakalah catat data-datanya
1. Analisis Struktur Sastra Cerpen Aluh Campaka (Radiana, 1992),
2. Analisis Unsur Magis Dalam Cerpen Lawang Karya A. Rasyidi Umar (Masliani, 1999),
3. Nilai Nilai Didaktis Dalam Cerpen Karindangan Karya Seroja Murni (Warnidah, 1999),
4. Peranan Peribahasa Banjar Sebagai Salah Satu Bentuk Karya Sastra Lama Dalam Pengajaran Sastra di SLTP (Masnah, 1999),
5. Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Farida, 1999),
6. Analisis Pendidikan Dalam Mamanda Lentera Hati Karya Jaka Mustika (Rahmaniyati, 1999),
7. Nilai Budaya Dalam Peribahasa Banjar, (Ruswatina, 1999),
8. Unsur Sosial Budaya Dalam Cerpen Banjar (Fahriansyah, 1999),
9. Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Muslimah Murni, 1999),
10. Aspek Aspek Sosial Kejiwaan dalam Cerita Pendek Racun Karya YS Agus Suseno (Siti Mulyani, 1999),
11. Nilai Budaya Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Muslinawati Hana, 2000),
12. Unsur Religi Dalam Cerpen Bau Harum Matan Surga Karya Ahmad Fahrawi (Norol Hayati, 2000),
13. Nilai Pendidikan Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Janiah, 2000),
14. Perbandingan Aspek Humor Dalam Cerpen Amun Tambus Hanyar Kawin dengan Si Jek Siup (Maryani, 2000),
15. Analisis Struktur Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Maryani, 2000),
16. Unsur Humor dalam Cerpen bahasa Banjar Aluh Campaka Karya Bachtiar Sanderta (Maya, 2000),
17. Tokoh Wanita Idaman Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Supriyono, 2000),
18. Aspek Humor dalam Telaah Sastra Lisan Madihin (Hermani Yusuf, 2003),
19. Penggunaan Bahasa Banjar dalam Cerita si Palui pada Surat Kabar Banjarmasin Post (Norhamisah, 2004),
20. Unsur Pendidikan dalam Pantun Banjar untuk Baantaran dalam Adat Orang Banjar (Rusmiati, 2004),
21. Peran Kesenian Tradisional Madihin Bagi Masyarakat Banjar (Fahrida Noor, 2004),
22. Konflik Internal Antara Tokoh Tokoh-tokoh dalam Cerpen Banjar (Mirajiah, 2004),
23. Nilai Moral dalam Pantun Banjar (Riwandi, 2005),
24. Nilai Sosial Budaya dalam Naskah Japin Carita Iluk si Walut Putih Karya YS Agus Suseno (Murni SB, 2006),
25. Kajian Aspek Moral dalam Kumpulan Kisdap Karya Jamal T. Suryanata (Henny Armilawati, 2006),
26. Pendeskripsian Tokoh-tokoh Pigura dalam Cerpen Banjar (A. Gazali Rahman, 2006),
27. Nilai-nilai Relegius dalam Kumpulan Cerita Datu-datu Banjar Karya Fahrurraji Asmuni (Muhammad Sadiq, 2007),
28. Peran Moral dalam Pantun Banjar (Risnawati, 2007),
29. Kajian Semiotik Tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Banjar (Ansariansyah, 2007),
30. Profil Tokoh Protagonis dan Antagonis dalam Cerpen Banjar Kalimantan Selatan (Farah Mutia, 2008),
31. Analisis Pesan Moral dalam Syair Kesenian Madihin Karya Syamsiar Seman (Dini Amelia, 2008). .

UPAYA-UPAYA UNTUK MENGANGKAT SASTRA BANJAR AGAR MENJADI TUAN RUMAH YANG EKSISTENSIAL DI KALSEL
Sesungguhnya banyak pihak yang sudah melakukan upaya-upaya untuk mengangkat sastra Banjar agar menjadi tuan rumah yang eksistensial di Kalsel, antara lain.
1. Pembukaan rubrik cerita humor Si Palui di SKH Banjarmasin Post pada tanggal 2 Agustus 1971 merupakan salah satu upaya yang paling awal dilakukan orang di Kalsel.. Tidak diketahui dengan pasti sudah berapa ribu judul jumlah cerita humor Si Palui yang telah dimuat di SKH Banjarmasin Post. Jika setiap tahun dimuat rata-rata sekitar 300 judul, maka selama kurun waktu 40 tahun telah dimuat tidak kurang dari 12.000 judul. Suatu jumlah yang sangat banyak. Mula-mula rubrik yang sangat digemari pembaca ini diisi oleh Drs. H. Yustan Aziddin (alm) (1971-1990), kemudian diisi oleh Mas Abikarsa (alm) (1990-1995), dan selanjutnya diisi oleh M. Hoesni Thamrin (alm)(1995-2005). Sepeninggal mereka bertiga, rubrik ini masih tetap dipertahankan.
2. Tahun 1976, Syamsiar Seman menerbitkan antologi puisi berjudul Tanah Habang. Di dalamnya dimuat 30 judul puisi berbahasa Banjar yang disusun baris demi baris dan bait demi bait dengan merujuk kepada susunan baris dan bait yang khas puisi genre baru.
3. Tahun 1978, Pusat Bahasa Jakarta menerbitkan antologi puisi Artum Artha berjudul Unggunan Puisi Banjar
4. Tahun 1990-1994, Radio Nirwana Banjarmasin aktif menyelenggarakan lomba baca puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Cerpen dan puisi berbahasa Banjar dimaksud kemudian dikompilasikan sebagai manuskrip untuk materi lomba baca puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Berkat pengumpulan yang mereka lakukan maka hingga sekarang ini para peminat sastra Banjar masih dapat membaca puisi-puisi dan cerpen-cerpen berbahasa Banjar dimaksud (telah dikumpulkan dalam 3 jilid manuskrip yang meskipun sangat sederhana secara fisik, namun sangat berarti sebagai upaya untuk menyelamatkannya dari ancaman kepunahan akibat dimakan rayap).
5. Tahun 2000-2009, sejumlah sastrawan Banjar tercatat menerbitkan buku kumpulan karya sastra berbahasa Banjar, yakni Jajarat dan Kariau, (Rock Syamsuri Sabri, 2003), Baturai Sanja (antologi puisi bersama Eza Thabry Husano, Hamamy Adaby, dan Arsyad Indradi, 2004), Uma Bungas Banjarbaru, (antologi puisi Hamami Adaby, 2005), Galuh (antologi cerpen, Jamal T. Suryanata, Penerbit Radar Banjarmasin Press, Banjarmasin, 2005), Garunum (antologi puisi bersama Hamamy Adaby dkk, 2006), Kaduluran (antologi puisi Hamamy Adaby, 2006), Maundak Dandang (M. Fitran Salam, Penerbit Swa Kelola Satu Warna Press, Banjarbaru, 2006), dan Pantun Rumah (Rock Syamsuri Sabri, Marabahan, 2010).
6. Pada kurun waktu yang sama (2000-2009), Syamsiar Seman dan Abdul Djebar Hapip menerbitkan puluhan judul buku cerita rakyat berbahasa Banjar berjenis mitologi, legenda, hikayat, kisah, dan dongeng. Sambutan publik terhadap buku cerita karangan Syamsiar Seman dan Abdul Djebar Hapip ini sangatlah menggembirakan, hal ini terbukti dari larisnya penjualan buku-buku cerita rakyat dimaksud..
7. Memanfaatkan momentum Aruh Sastra (Pesta Sastra) yang setiap tahun digelar secara bergiliran di berbagai kota besar di Kalsel, panitia penyelenggara selalu mengadakan kegiatan lomba menulis karya sastra berbahasa Banjar, lomba baca syair Banjar, dan lomba baca Madihin. Dari kegiatan Aruh Sastra ini telah diterbitkan beberapa judul antologi puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Terakhir dalam rangka Aruh Sastra VII di Tanjung diterbitkan Antologi Puisi dan Cerpen Banjar berjudul Manyanggar Banua (2010).
8. Seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, banyak pihak berusaha menghidupkan kembali sastra Banjar genre lama berbentuk pantun. Ada yang berinisiatif memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Kegiatan lomba menulis dan membacakan pantun Banjar juga mulai digalakan di sekolah-sekolah di seluruh daerah Kalsel. Selain itu, ada pula yang mencoba memperkenalkan pantun Banjar melalui publikasi di koran-koran, siaran khusus di RRI Banjarmasin, radio swasta, dan TVRI Banjarmasin.
9. Sejak tahun 2001, TVRI Banjarmasin menggelar mata acara Baturai Pantun. Acara yang disiarkan pada setiap hari Selasa ini di pandu oleh 3 host utama, yakni John Tralala (M Yusransyah), Eli Rahmi, dan Anang. Pantun-pantun yang disiarkan adalah pantun-pantun berbahasa Banjar yang dikarang oleh H. Adjim Arijadi. Setiap kali siaran, beliau menyiapkan tidak kurang dari 50 bait pantun Banjar yang siap dibacakan secara bergantian oleh tiga host acara dimaksud. Sejak tahun 2001, sudah ribuan bait pantun yang lahir dari kepiawaian H. Adjim Arijadi dalam merangkaikan kosakata bahasa Banjar. Menurut catatan Sukarli, hingga tahun 2009 ini, arsip naskah pantun Banjar dimaksud sudah mencapai tebal 400 halaman (Si Penjaga Pantun Banjar, SKH Media Kalimantan Banjarmasin, halaman B4).
10. Upaya lain yang juga layak dicatat adalah menjadikan sastra Banjar sebagai mata kuliah di PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan PBSID di STKIP PGRI Banjarmasin. Melalui mata kuliah sastra Banjar inilah para dosen memperkenalkan sastra Banjar kepada para mahasiswanya. Pucuk dicinta ulam tiba, cukup banyak di antara mereka itu yang kemudian tertarik untuk menulis skripsi tentang sastra Banjar. Bermula dari sinilah maka kemudian terbangunlah tradisi kritik sastra akademik terhadap karya sastra berbahasa Banjar.

BAHAN RUJUKAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1998. Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan.
Ganie, Tajuddin Noor. 2011. Sastra Banjar Lama Bergenre Puisi. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan.
Jarkasi dan Sainul Hernawan. 2006. Sastra Banjar Kontekstual. Banjarmasin : Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, FKIP Unlam Press Banjarmasin, dan Forum Kajian Budaya Banjar Banjarmasin.
Jarkasi dan Djantera Kawi. 2000. Kajian Seni : Karakter Tokoh-Tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern. Banjarmasin : Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel.
Taman Budaya Kalsel. 2004. Kompilasi Naskah Cerpen Banjar. Banjarmasin : Taman Budaya Kalsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar