NASIB BURUK SASTRA BANJAR
DI BAWAH TEKANAN HEGEMONI SASTRA INDONESIA
DEFINISI SASTRA BANJAR DAN SASTRAWAN BANJAR
Sastra Banjar adalah semua jenis karya sastra yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Sastrawan Banjar adalah siapa saja yang mampu melisankan atau menuliskan salah satu jenis karya sastra berbahasa Banjar kapan saja (pada masa lalu, masa kini, atau pada masa yang akan datang), dan di mana saja (tidak mesti di Kalsel).
Dari sekian banyak definisi sastra Banjar dan sastrawan Banjar yang telah dirumuskan orang selama ini, pemakalah memilih versi sebagaimana yang dikutipkan di atas. Pemakalah berpendapat definisi itulah yang paling tepat dipilih dalam kaitannya dengan kepentingan strategi kebudayaan.
Sastra Banjar meliputi semua jenis karya sastra, tidak dibedakan antara yang bergenre lama dengan yang bergenre baru. Tidak dibedakan antara yang lisan (sastra lisan) dengan yang tertulis (sastra tulis). Tidak dibedakan berdasarkan latar belakang apa siapa sastrawannya (antara yang anonim dengan yang nonanonim, atau antara yang bersuku Banjar dengan yang bukan bersuku Banjar). Tidak dibedakan berdasarkan kurun waktu pelisanannya atau penulisannya (pada masa lalu, masa kini, atau pada masa yang akan datang). Tidak dibedakan berdasarkan lokasi pelisanan atau penulisannya (di Kalsel atau di luar Kalsel). Hanya satu syarat yang wajib dipenuhi, yakni berbahasa Banjar.
Siapa saja berhak diakui atau mengakui dirinya sebagai sastrawan Banjar jika yang bersangkutan mampu melisankan atau menuliskan salah satu jenis karya sastra berbahasa Banjar di mana saja, dan kapan saja.
KHASANAH SASTRA BANJAR GENRE LAMA
Etnis Banjar tidak memiliki sistem aksara sendiri, mereka baru mengenal sistem aksara Arab sejak tahun 1526. Hanya saja kemampuan baca tulis dalam huruf Arab ini tampaknya juga tidak diberdayakan sebagaimana mestinya, terbukti tidak banyak ditemukan peninggalan-peninggalan dalam bentuk informasi yang dituliskan dengan huruf Arab pada batu, daun, kayu, logam, dan kertas. Hikayat Banjar boleh jadi merupakan karya sastra berbahasa Banjar pertama yang dituliskan orang di Kerajaan Banjar. Menurut JJ Ras (1968:181) Hikayat Banjar selesai ditulis pada tahun 1728.
Langkanya peninggalan lama berupa karya sastra berbahasa Banjar yang dituliskan dalam bentuk buku-buku merupakan petunjuk bahwa para sastrawan Banjar pada zaman dahulu kala lebih senang menjalani profesinya secara oralitas (sastrawan lisan) bukan secara literalitas (sastrawan tulis).
Ada sejumlah jenis karya sastra yang dikenal dalam khasanah sastra Banjar genre lama, yakni andi-andi, bacaan (mantra Banjar), dongeng Banjar, dundam, hikayat Banjar, kisah Banjar, lamut, legenda Banjar, madihin, mitologi Banjar, pandung, pantun, paribasa, syair, dan surat tarasul (surat cinta berbentuk puisi).
Semua jenis karya sastra berbahasa Banjar dimaksud tidak ada yang dituliskan di atas batu, daun, kayu, logam, atau kertas, tetapi langsung dibacakan di depan forum dengan mengandalkan kemampuan mereka dalam menghapal dan mengolah rangkaian kosa-kata dengan sistem formulaik yang dikuasainya. Sistem pewarisannya dari generasi ke generasi juga dilakukan dengan cara dibacakan oleh guru untuk kemudian dihafalkan oleh muridnya.
Tradisi oralitas yang demikian itu membuat semua jenis karya sastra bergenre lama menjadi sangat rentan terhadap ancaman kepunahan. Kegiatan pelisanan dan penulisan andi-andi, bacaan, lamut, pandung, syair, dan surat tarasul pada kurun waktu 1980-2009 ini sudah relatif jarang dilakukan orang.. Ada 3 jenis karya sastra Banjar bergenre lama yang masih agak sering dilisankan orang, yakni madihin, pantun, dan paribasa.
Kesenian madihin masih sering dipertunjukan orang dengan tokohnya yang paling populer Jon Tralala dan anaknya Hendra. Kegiatan bertukar pantun masih sering dilakukan sebagai bagian dalam tradisi maatar patalian (mengantar barang pinengset untuk calon mempelai wanita). Sejak tahun 2001, TVRI Banjarmasin menggelar mata acara Baturai Pantun. Acara yang disiarkan pada setiap hari Selasa ini di pandu oleh 3 host utama, yakni John Tralala (M Yusransyah), Eli Rahmi, dan Anang. Sementara itu, paribasa, masih sering dilisankan orang dalam percakapan-percakapan informal dan masih sering pula dituliskan orang sebagai selipan pemanis dalam tausiah para ulama, atau dalam pidato formal informal para penjabat dan tokoh masyarakat.
KHASANAH SASTRA BANJAR GENRE BARU
Khasanah sastra Banjar genre baru meliputi semua jenis karya sastra berbentuk puisi, prosa fiksi, dan drama yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Jika sastra Banjar genre lama pada umumnya dituliskan dalam huruf Arab, maka sastra Banjar genre baru semuanya ditulis dalam huruf Latin.
Etnis Banjar mulai berkenalan dengan huruf Latin sejak tahun 1860, yakni sejak Kerajaan Banjar dihapuskan secara sepihak oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Sejak itu pula nama teritorial bekas wilayah Kerajaan Banjar ini diganti menjadi Keresidenan Borneo Selatan. Pada tahun 1930-an, ditemukan fakta otentik huruf Latin sudah digunakan oleh para sastrawan yang tinggal di Borneo Selatan sebagai sarana untuk menuliskan puisi dan prosa fiksi berbahasa Melayu (Indonesia)
Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan sastrawan Banjar mulai mempergunakan huruf Latin sebagai sarana untuk menuliskan karya sastra berbahasa Banjar. Sementara belum ada tahun yang pasti, Ganie (2010) menetapkan tanggal 2 Agustus 1971 sebagai patokan awal dimulainya sejarah penulisan karya sastra genre baru berbahasa Banjar.
Dasar penetapannya menurut Ganie (2010) adalah fakta bahwa sejak tanggal 2 Agustus 1971, SKH Banjarmasin Post mulai memuat cerita humor serial lepas yang ditulis dalam bahasa Banjar dengan tokoh utamanya Si Palui. Sejak itu hingga sekarang ini, SKH Banjarmasin Post setiap hari memuat satu judul cerita Si Palui. Secara struktural cerita humor Si Palui memenuhi kriteria sebagai karya sastra genre baru yang ditulis dalam bahasa Banjar, yakni sebagai cerpen Banjar modern.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan penulisan karya sastra berbahasa Banjar di Kalsel belumlah menggembirakan secara kuantitatif dan kualitatif jika dibandingkan dengan kegiatan penulisan karya sastra berbahasa Indonesia. Jumlah sastrawan Kalsel yang terdaftar dalam Antologi Biografi Sastrawan Kalsel 1930-2009 (Ganie, 2010) ada sebanyak 543 orang. Namun, dari jumlah itu, hanya sekitar 50 orang saja yang pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar.
Minimnya jumlah sastrawan Kalsel yang bergiat sebagai penulis karya sastra berbahasa Banjar menjadikan sastra Banjar sebagai entitas yang marginal di Kalsel. Nasib buruk sastra Banjar yang demikian itu tidak bisa tidak berkaitan erat dengan tekanan hegemonik sastra Indonesia yang begitu kuat di Kalsel. Fakta ini menunjukan adanya problema tertentu dalam upaya menegakkan eksistensi sastra Banjar di Kalsel yang notabene berstatus sebagai pusat kebudayaan Banjar di muka bumi ini.
Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:85) berpendapat setidak-tidaknya ada 4 persoalan yang dihadapi sastra Banjar, yakni : (1) pengarang, (2) pembaca, (3) media penerbitan, dan (4) kritik sastra.
Problema Dari Sisi Sastrawan Banjar
Problema yang dihadapi sastra Banjar dari sisi pengarangnya, antara lain belum dikuasainya teknis penulisan karya sastra berbahasa Banjar oleh mayoritas sastrawan Banjar sendiri. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, jumlah 543 sastrawan Kalsel yang terdaftar dalam buku Antologi Biografi Sastrawan Kalsel 1930-2009 (Ganie, 2010), cuma sekitar 50 orang saja yang pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar. Padahal, para sastrawan Kalsel inilah yang mestinya paling banyak menguasai jurus-jurus penulisan karya sastra berbahasa Banjar, karena mereka secara demografis tinggal di pusat kebudayaan Banjar.
Memang, tidak semua sastrawan Kalsel, termasuk yang berdarah Banjar sekalipun, mampu bolak-balik dalam menulis karya sastra, sekali waktu menulis karya sastra berbahasa Indonesia dan pada kali yang lain menulis karya sastra berbahasa Banjar. Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:36) memuji A. Rasyidi Umar, Bachtiar Sanderta, M. Rifani Djamhari, YS Agus Suseno, dan M. Fitran Salam sebagai sastrawan Kalsel (Indonesia) yang mampu melakukan proses kreatif bolak-balik dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia dan Banjar.
Penulisan karya sastra berbahasa Banjar memang tidak dapat dilakukan dengan menerapkan teknik alih bahasa atau alih kode dengan cara menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia (atau bahasa lainnya). Hal ini mengingat, struktur konsep berpikir dalam bahasa Indonesia sama sekali berbeda secara alamiah dengan struktur konsep berpikir dalam bahasa Banjar. YS Agus Suseno seorang sastrawan Kalsel yang terkenal piawai menulis cerpen-cerpen Banjar modern bahkan menabukan teknik alih bahasa dan alih kode semacam itu dalam proses kreatif penulisan cerpen Banjar modern.
Berkaitan dengan problema yang dihadapi para sastrawan dalam konteks proses kreatif penulisan karya sastra berbahasa Banjar ini, Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan (2006:28-29) memberikan 5 kiat sukses, yakni :
(1) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, karena karya sastra berbahasa Banjar yang tinggi mutunya sangat ditentukan oleh kemampuan sastrawannya mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, setidak-tidaknya dalam komunikasi pasif melalui tulisan.
(2) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kerangka berpikir menurut konsep berpikir yang berlaku dalam bahasa Banjar. Hal ini mengingat, bahasa Banjar juga memiliki seperangkat idiom atau ungkapan lokal yang khas yang tidak dapat diterjemahkan atau diekspresikan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya.
(3) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kosa-kata bahasa Banjar berikut jangkuan semantis untuk setiap kosa-kata bahasa Banjar itu sendiri. Kemampuan pribadi ini dapat diasah melalui pengalaman lingistik dalam pergaulan sehari-hari atau melalui kegiatan pembacaan atas Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul Djebar Hapip.
(4) Meningkat kemampuan pribadi dalam menguasai pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar, baik dengan cara bergaul langsung ke tengah-tengah masyarakat atau melalui proses pembacaan buku-buku yang berisi paparan menyangkut tema dimaksud. Pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar ini sangat membantu sastrawan yang bersangkutan dalam menggambarkan warna lokal budaya Banjar secara lebih alami dan meyakinkan yang dalam karya sastra berbahasa Banjar yang ditulisnya.
(5) Meningkatkan pengetahuan tentang teknik-teknik penulisan karya sastra modern dengan cara mempelajari buku-buku teori penulisan karya sastra, kritik sastra, dan mempelajari karya sastra hasil karya para sastrawan lain.
Problema Dari Sisi Pembaca Karya Sastra Berbahasa Banjar
Burhanuddin Soebely (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:119) bersaksi bahwa pada saat berlangsungnya sessi tanya jawab peluncuran antologi cerpen berbahasa Banjar (kisdap) Galuh karangan Jamal T. Suryanata, seorang pelajar SMA dengan polos mengatakan bahwa ia kurang dapat mengapresiasi kisdap-kisdap yang dimuat di dalam Galuh karena bahasa Banjar yang dipakai banyak yang tidak dimengerti. Dia kemudian memberikan solusi agar kisdap-kisdap itu diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia. Pokok soal kasus ini bukanlah keengganan mengapresiasi, melainkan pada bahasa. Logikanya, jika sastra Banjar diperkenalkan secara dini dan intensif, atau langkah programatis lainnya, maka jembatan apresiasi akan menjadikan sastra Banjar berumur panjang
Selain itu, dalam lingkup sosial yang lebih luas, kasus ini merupakan petunjuk bahwa bahasa Banjar merupakan bahasa yang kurang begitu banyak dipergunakan di kalangan generasi penerus di Kalsel yang notabene berstatus sebagai pusat kebudayaan Banjar di muka bumi ini. Jumlah kosa-kata bahasa Banjar yang dikuasai oleh masyarakat pembaca karya sastra di tingkat generasi penerus ini masih sangat kurang. Ini berarti harus ada upaya bersama atau semacam strategi budaya untuk menciptakan situasi kondusif yang memungkinkan bahasa Banjar tetap dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang fungsional di Kalsel.
Sastra Banjar di masa depan akan menghadapi masa-masa kekurangan pembaca jika semakin hari semakin sedikit saja generasi penerus di Kalsel ini yang dapat mengerti bahasa Banjar. Padahal, sastra Banjar membutuhkan khalayak pembaca, tanpa khalayak pembaca yang memadai, sastra Banjar tidak akan dapat dimaknai secara sewajarnya bagaimana mestinya.
Berkaitan dengan jumlah pembaca yang relatif minim, sementara tingkat kesulitan dalam menuliskannya yang juga relatif tinggi, maka bukanlah hal yang kebetulan jika para sastrawan Kalsel yang tinggal di pusat kebudayaan Banjar ini sendiri lebih suka atau lebih tergoda untuk memilih menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dari pada dalam bahasa Banjar.
Menurut Burhanuddin Soebely (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:100), menulis dalam bahasa Indonesia, selain dorongan dari dalam juga merupakan pilihan politis dan pilihan ekonomis. Pilihan politis, karena di situ merupakan wahana pengembangan bakat dan penegasan eksistensi dalam jagat Indonesia, sebab ternyata sastra nasional bukanlah puncak-puncak sastra daerah. Pilihan ekonomis, karena di situ terbuka banyak ruang untuk memuat karya dan mendapatkan konpensasi atawa honorarium. Sementara menulis dalam bahasa Banjar lebih pada pilihan historis dan pilihan kultural emosional agar tidak kehilangan akar sejarah.
Problema Dari Sisi Media Penerbitan Karya Sastra Berbahasa Banjar
Bahasa Banjar tidak pernah menjadi bahasa pergaulan yang fungsional di tingkat koran/majalah. Sejak awal dimulainya sejarah penerbitan surat kabar di Kalsel pada tahun 1930, tidak pernah ada koran/majalah berbahasa Banjar. Beda misalnya dengan yang terjadi di Tanah Jawa atau Tatar Sunda, sampai sekarang masih ada koran.majalah berbahasa Jawa atau Sunda. Koran/majalah berbahasa Jawa dan Sunda inilah yang menjadi tempat publikasi utama karya sastra berbahasa Jawa dan Sunda.
Fakta ini menunjukan sastra Banjar sampai sekarang masih belum memiliki rumah yang nyaman di tingkat koran/majalah. Kecuali cerita Si Palui yang sejak tahun 1971 sudah menempati rumah tinggal yang nyaman di SKH Banjarmasin Post, karya sastra Banjar lainnya masih harus disibukan oleh urusan mencari rumah tumpangan di berbagai koran/majalah yang terbit di Kalsel. Untunglah, sekarang ini masih ada SKH Radar Banjarmasin dan SKH Media Kalimantan yang berkenan memberi tempat singgah bagi karya sastra berbahasa Banjar, jika tidak, ke mana lagi para sastrawan Banjar memublikasikan karya sastranya (ke laut?).
Belum adanya koran/majalah yang sepenuhnya berbahasa Banjar membuat para sastrawan Kalsel lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra dalam bahasa Indonesia dapat dikirim ke mana saja ke seluruh Indonesia, bahkan juga ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Bila nasib baik, karya sastra karangan mereka dimuat di berbagai koran/majalah terkemuka terbitan ibukota, dan selanjutnya karya sastranya dibicarakan dan dipuji oleh para kritikus sastra terkemuka.
Tidak hanya itu, seiring dengan semakin tingginya reputasi kesastrawanannya, para penerbit berlomba-lomba untuk menerbitkan buku karya sastranya yang memang laku keras di pasaran, para penyelenggara forum sastra di tingkat nasional silih berganti mengundang kehadirannya, nama dan biografinya ikut dimuat dalam ensiklopedi sastra, buku pintar sastra, buku sejarah sastra, dan buku karya sastra karangannya diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Peluang untuk meraih reputasi semacam itu tidak mungkin dapat diraihnya melalui jalur penulisan karya sastra berbahasa Banjar.
Karya sastra berbahasa Banjar dapat saja disebar-luaskan dalam bentuk buku seperti yang dilakukan oleh Jamal T. Suryanata dan M. Fitran Salam. Tapi risikonya besar sekali, modal besar yang ditanamkan untuk menerbitkan buku semacam itu belum tentu kembali dalam tempo setahun atau dua tahun. Para penerbit buku yang profit bisnis tentunya harus berpikir beberapa kali jika ingin menerbitkan buku-buku sastra berbahasa Banjar. Sampai sejauh ini, menulis karya sastra berbahasa Banjar masih merupakan proyek idealis yang identik dengan kerugian material.
Sungguh, tidak pada tempatnya jika risiko kerugian material semacam itu masih harus ditanggung lagi oleh para sastrawan Banjar. Bayangkan, ketika masih dalam proses kreatif penulisannya tempo hari, sastrawan Banjar yang bersangkutan sesungguhnya sudah mengorbankan waktu istirahatnya, waktunya untuk bercengkrama dengan anak-anak dan istrinya-istrinya (sebanyak 4 orang, hehehe), dan bahkan juga mengorbankan waktunya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Tetapi begitu selesai ditulis karya sastra berbahasa Banjar itu terpaksa dibukukan dengan biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi sastrawan Banjar yang bersangkutan.
Mungkin sudah waktunya di Kalsel ini ada semacam lembaga patron yang berani mengambil alih risiko kerugian material berkaitan dengan penerbitan karya sastra berbahasa Banjar. Patron di sini bisa pemerintah daerah, bisa Dewan Kesenian Daerah, bisa Lembaga Budaya Banjar, bisa lembaga nirlaba kesusastraan Banjar, dan bisa pula perorangan yang banyak memiliki uang berlebih.
Problema Dari Sisi Kritik Sastra Terhadap Karya Sastra Berbahasa Banjar
Tradisi kritik sastra terhadap karya sastra berbahasa Banjar belum terbentuk sebagaimana mestinya di Kalsel. Puluhan atau bahkan ratusan karya sastra berbahasa Banjar yang sudah dipublikasikan di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra sampai sekarang ini belum pernah terkena sentuhan kritik para kritikus sastra. Sampai sejauh ini, karya kritik sastra semacam ini hanya ditulis oleh Jarkasi, M. Yusransyah, Tajuddin Noor Ganie, dan Sainul Hermawan saja. Kegiatan penulisan kritik sastra terhadap sastra Banjar di berbagai koran/majalah terbitan kota Banjarmasin tampaknya masih harus semakin digiatkan lagi.
Fakta yang sama juga terjadi di bidang penerbitan buku teks dan kritik sastra terhadap sastra Banjar. Jumlah buku yang mengulas perihal sastra Banjar masih relatif sedikit. Berikut ini adalah judul buku berkenaan dengan sastra Banjar yang pemakalah ketahui.
1. Sastra Lisan Banjar (Sunarti dkk, 1978),
2. Pantun Banjar (Jarkasi, 1996),
3. Struktur Mamanda (Jarkasi, 1976),
4. Struktur Sastra Lisan Madihin (Jarkasi, 1997),
5. Kajian Prosa Fiksi Drama (Jarkasi, 1999),
6. Kajian Seni Karakter Tokoh Tokoh Idaman Dalam Cerpen Banjar Modern (Jarkasi dan Djantera Kawi, 2000),
7. Struktur Lamut (Jarkasi, 2000),
8. Retorika Pantun Dalam Sistem Kritik Masyarakat Banjar (Jarkasi, 2001),
9. Mamanda : Dari Realitas Tradisional ke Kesenian Populer (Jarkasi, 2002).
Apresiasi akademik berupa penulisan skripsi dan tesis oleh para mahasiswa di Program S.1 dan S.2 PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dan Program S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin juga masih kalah jumlah dibandingkan dengan apresiasi akademik yang mereka berikan terhadap sastra Indonesia.
Berikut ini adalah daftar skripsi tentang sastra Banjar yang tersimpan di Perpustakaan STKIP PGRI Banjarmasin yang sempat pemakalah catat data-datanya
1. Analisis Struktur Sastra Cerpen Aluh Campaka (Radiana, 1992),
2. Analisis Unsur Magis Dalam Cerpen Lawang Karya A. Rasyidi Umar (Masliani, 1999),
3. Nilai Nilai Didaktis Dalam Cerpen Karindangan Karya Seroja Murni (Warnidah, 1999),
4. Peranan Peribahasa Banjar Sebagai Salah Satu Bentuk Karya Sastra Lama Dalam Pengajaran Sastra di SLTP (Masnah, 1999),
5. Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Farida, 1999),
6. Analisis Pendidikan Dalam Mamanda Lentera Hati Karya Jaka Mustika (Rahmaniyati, 1999),
7. Nilai Budaya Dalam Peribahasa Banjar, (Ruswatina, 1999),
8. Unsur Sosial Budaya Dalam Cerpen Banjar (Fahriansyah, 1999),
9. Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Muslimah Murni, 1999),
10. Aspek Aspek Sosial Kejiwaan dalam Cerita Pendek Racun Karya YS Agus Suseno (Siti Mulyani, 1999),
11. Nilai Budaya Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Muslinawati Hana, 2000),
12. Unsur Religi Dalam Cerpen Bau Harum Matan Surga Karya Ahmad Fahrawi (Norol Hayati, 2000),
13. Nilai Pendidikan Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Janiah, 2000),
14. Perbandingan Aspek Humor Dalam Cerpen Amun Tambus Hanyar Kawin dengan Si Jek Siup (Maryani, 2000),
15. Analisis Struktur Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Maryani, 2000),
16. Unsur Humor dalam Cerpen bahasa Banjar Aluh Campaka Karya Bachtiar Sanderta (Maya, 2000),
17. Tokoh Wanita Idaman Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Supriyono, 2000),
18. Aspek Humor dalam Telaah Sastra Lisan Madihin (Hermani Yusuf, 2003),
19. Penggunaan Bahasa Banjar dalam Cerita si Palui pada Surat Kabar Banjarmasin Post (Norhamisah, 2004),
20. Unsur Pendidikan dalam Pantun Banjar untuk Baantaran dalam Adat Orang Banjar (Rusmiati, 2004),
21. Peran Kesenian Tradisional Madihin Bagi Masyarakat Banjar (Fahrida Noor, 2004),
22. Konflik Internal Antara Tokoh Tokoh-tokoh dalam Cerpen Banjar (Mirajiah, 2004),
23. Nilai Moral dalam Pantun Banjar (Riwandi, 2005),
24. Nilai Sosial Budaya dalam Naskah Japin Carita Iluk si Walut Putih Karya YS Agus Suseno (Murni SB, 2006),
25. Kajian Aspek Moral dalam Kumpulan Kisdap Karya Jamal T. Suryanata (Henny Armilawati, 2006),
26. Pendeskripsian Tokoh-tokoh Pigura dalam Cerpen Banjar (A. Gazali Rahman, 2006),
27. Nilai-nilai Relegius dalam Kumpulan Cerita Datu-datu Banjar Karya Fahrurraji Asmuni (Muhammad Sadiq, 2007),
28. Peran Moral dalam Pantun Banjar (Risnawati, 2007),
29. Kajian Semiotik Tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Banjar (Ansariansyah, 2007),
30. Profil Tokoh Protagonis dan Antagonis dalam Cerpen Banjar Kalimantan Selatan (Farah Mutia, 2008),
31. Analisis Pesan Moral dalam Syair Kesenian Madihin Karya Syamsiar Seman (Dini Amelia, 2008). .
UPAYA-UPAYA UNTUK MENGANGKAT SASTRA BANJAR AGAR MENJADI TUAN RUMAH YANG EKSISTENSIAL DI KALSEL
Sesungguhnya banyak pihak yang sudah melakukan upaya-upaya untuk mengangkat sastra Banjar agar menjadi tuan rumah yang eksistensial di Kalsel, antara lain.
1. Pembukaan rubrik cerita humor Si Palui di SKH Banjarmasin Post pada tanggal 2 Agustus 1971 merupakan salah satu upaya yang paling awal dilakukan orang di Kalsel.. Tidak diketahui dengan pasti sudah berapa ribu judul jumlah cerita humor Si Palui yang telah dimuat di SKH Banjarmasin Post. Jika setiap tahun dimuat rata-rata sekitar 300 judul, maka selama kurun waktu 40 tahun telah dimuat tidak kurang dari 12.000 judul. Suatu jumlah yang sangat banyak. Mula-mula rubrik yang sangat digemari pembaca ini diisi oleh Drs. H. Yustan Aziddin (alm) (1971-1990), kemudian diisi oleh Mas Abikarsa (alm) (1990-1995), dan selanjutnya diisi oleh M. Hoesni Thamrin (alm)(1995-2005). Sepeninggal mereka bertiga, rubrik ini masih tetap dipertahankan.
2. Tahun 1976, Syamsiar Seman menerbitkan antologi puisi berjudul Tanah Habang. Di dalamnya dimuat 30 judul puisi berbahasa Banjar yang disusun baris demi baris dan bait demi bait dengan merujuk kepada susunan baris dan bait yang khas puisi genre baru.
3. Tahun 1978, Pusat Bahasa Jakarta menerbitkan antologi puisi Artum Artha berjudul Unggunan Puisi Banjar
4. Tahun 1990-1994, Radio Nirwana Banjarmasin aktif menyelenggarakan lomba baca puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Cerpen dan puisi berbahasa Banjar dimaksud kemudian dikompilasikan sebagai manuskrip untuk materi lomba baca puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Berkat pengumpulan yang mereka lakukan maka hingga sekarang ini para peminat sastra Banjar masih dapat membaca puisi-puisi dan cerpen-cerpen berbahasa Banjar dimaksud (telah dikumpulkan dalam 3 jilid manuskrip yang meskipun sangat sederhana secara fisik, namun sangat berarti sebagai upaya untuk menyelamatkannya dari ancaman kepunahan akibat dimakan rayap).
5. Tahun 2000-2009, sejumlah sastrawan Banjar tercatat menerbitkan buku kumpulan karya sastra berbahasa Banjar, yakni Jajarat dan Kariau, (Rock Syamsuri Sabri, 2003), Baturai Sanja (antologi puisi bersama Eza Thabry Husano, Hamamy Adaby, dan Arsyad Indradi, 2004), Uma Bungas Banjarbaru, (antologi puisi Hamami Adaby, 2005), Galuh (antologi cerpen, Jamal T. Suryanata, Penerbit Radar Banjarmasin Press, Banjarmasin, 2005), Garunum (antologi puisi bersama Hamamy Adaby dkk, 2006), Kaduluran (antologi puisi Hamamy Adaby, 2006), Maundak Dandang (M. Fitran Salam, Penerbit Swa Kelola Satu Warna Press, Banjarbaru, 2006), dan Pantun Rumah (Rock Syamsuri Sabri, Marabahan, 2010).
6. Pada kurun waktu yang sama (2000-2009), Syamsiar Seman dan Abdul Djebar Hapip menerbitkan puluhan judul buku cerita rakyat berbahasa Banjar berjenis mitologi, legenda, hikayat, kisah, dan dongeng. Sambutan publik terhadap buku cerita karangan Syamsiar Seman dan Abdul Djebar Hapip ini sangatlah menggembirakan, hal ini terbukti dari larisnya penjualan buku-buku cerita rakyat dimaksud..
7. Memanfaatkan momentum Aruh Sastra (Pesta Sastra) yang setiap tahun digelar secara bergiliran di berbagai kota besar di Kalsel, panitia penyelenggara selalu mengadakan kegiatan lomba menulis karya sastra berbahasa Banjar, lomba baca syair Banjar, dan lomba baca Madihin. Dari kegiatan Aruh Sastra ini telah diterbitkan beberapa judul antologi puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Terakhir dalam rangka Aruh Sastra VII di Tanjung diterbitkan Antologi Puisi dan Cerpen Banjar berjudul Manyanggar Banua (2010).
8. Seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, banyak pihak berusaha menghidupkan kembali sastra Banjar genre lama berbentuk pantun. Ada yang berinisiatif memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Kegiatan lomba menulis dan membacakan pantun Banjar juga mulai digalakan di sekolah-sekolah di seluruh daerah Kalsel. Selain itu, ada pula yang mencoba memperkenalkan pantun Banjar melalui publikasi di koran-koran, siaran khusus di RRI Banjarmasin, radio swasta, dan TVRI Banjarmasin.
9. Sejak tahun 2001, TVRI Banjarmasin menggelar mata acara Baturai Pantun. Acara yang disiarkan pada setiap hari Selasa ini di pandu oleh 3 host utama, yakni John Tralala (M Yusransyah), Eli Rahmi, dan Anang. Pantun-pantun yang disiarkan adalah pantun-pantun berbahasa Banjar yang dikarang oleh H. Adjim Arijadi. Setiap kali siaran, beliau menyiapkan tidak kurang dari 50 bait pantun Banjar yang siap dibacakan secara bergantian oleh tiga host acara dimaksud. Sejak tahun 2001, sudah ribuan bait pantun yang lahir dari kepiawaian H. Adjim Arijadi dalam merangkaikan kosakata bahasa Banjar. Menurut catatan Sukarli, hingga tahun 2009 ini, arsip naskah pantun Banjar dimaksud sudah mencapai tebal 400 halaman (Si Penjaga Pantun Banjar, SKH Media Kalimantan Banjarmasin, halaman B4).
10. Upaya lain yang juga layak dicatat adalah menjadikan sastra Banjar sebagai mata kuliah di PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan PBSID di STKIP PGRI Banjarmasin. Melalui mata kuliah sastra Banjar inilah para dosen memperkenalkan sastra Banjar kepada para mahasiswanya. Pucuk dicinta ulam tiba, cukup banyak di antara mereka itu yang kemudian tertarik untuk menulis skripsi tentang sastra Banjar. Bermula dari sinilah maka kemudian terbangunlah tradisi kritik sastra akademik terhadap karya sastra berbahasa Banjar.
BAHAN RUJUKAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1998. Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan.
Ganie, Tajuddin Noor. 2011. Sastra Banjar Lama Bergenre Puisi. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan.
Jarkasi dan Sainul Hernawan. 2006. Sastra Banjar Kontekstual. Banjarmasin : Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, FKIP Unlam Press Banjarmasin, dan Forum Kajian Budaya Banjar Banjarmasin.
Jarkasi dan Djantera Kawi. 2000. Kajian Seni : Karakter Tokoh-Tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern. Banjarmasin : Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel.
Taman Budaya Kalsel. 2004. Kompilasi Naskah Cerpen Banjar. Banjarmasin : Taman Budaya Kalsel.
Sastra Banjar
Kamis, 14 April 2011
Senin, 11 April 2011
PUISI BANJAR GENRE LAMA BERJENIS SYAIR TASAWUF
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 4 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR TASAWUF
Syair tasawuf, syair dengan tema cerita tentang hakikat ketuhanan, seperti Syair Saraba Ampat karangan Datu Sanggul (Abdush Shamad al Palimbangi), dan Syair Tuhan Kasih Kapada Kita.
SYAIR SARABA AMPAT
Allah jadikan saraba ampat
Syariat tharikat hakikat marifat
Menjadi satu di dalam khalwat
Rasa nyamannya tiada tersurat
Huruf ALLAH ampat banyaknya
Alif I’tibar daripada Zat-Nya
Lam awal dan akhir sifat dari Asma-Nya
Ha isyarat dari Af’al-Nya
Jibrik Mikail malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail Israfil rupa pasangannya
I’tibar sifat Qahar dan Kamal
Jabarail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Allah itu artinya
Jalallullah bahasa Arabnya
Nur Muhammad bermula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itu Muhammad dengan Tuhannya
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Menjadi awak berupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah
Manusia lahir ke alam insan
Di alam Ajsam ampat bakawan
Si Tubaniah dan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariah
Rasa dan akal daya dan nafsu
Di dalam raga nyata bersatu
AKU meliput segala liku
Matan hujung rambut ke hujung kuku
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang zhahir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adany
Alam shagir itu sabutnya
Mani manikam Madi dan Madzi
Titis ,anitis jadi manjadi
Si anak Adam balaksa kaul
Hanya yang tahu Allahhu Rabbi
(Tim Sahabat, 2006:70-71)
TUHAN KASIH KAPADA KITA
Tuhan kasih kapada kita
Sasungguhnya gaib tiada nyata
Tiada malihat nang picak mata
Urang nang kanal mamandang nyata
Siapa malihat darajat diangkat
Dangan Tuhannya sungguh malihat
Mahabarakan tiada hingkat
Itulah urang nang banar-banar karamat
Cubalah rasa dilihat-lihat
Barasih hati janganlah rigat
Dikanal diri dangan hakikat
Pinandu diri tajalli zat
Kapada Tuhan handaklah kanal
Tarikat dzikir dibuat mudal
Jangan diturut hati nang babal
Supaya banyak babuah amal
Sumbahyang dzikir bukan balaku
Hakikat hatinya hanya Tuhanku
Sakalian pakarjaan tiada dikaku
Tuhan tajalli hilanglah aku
Urang nang malihat akan Tuhannya
Karena khusuk mata akalnya
Dangan nang picak mata hatinya
Tiada satunju urang kaduanya
Arti hakikat talalu pangar
Dicala urang tiada didangar
Bila difitnah hati pun sabar
Hakikat makrifat tak mau takitar
Masuk khalwat dzikir
Kapada Tuhan disuruh hampir
Kasap mamandang nang ghaib dzahir
Guru mursid dicari galih
Ulama dzahir mancari pakulih
Mamaham kitab alih ba-alih
Dangan nang banar biar salisih
Dari dahulu sampai sakarang
Tiada nang malindungi sasuatu barang
Ia balindung di alam tarang
(Sunarti dkk, 1978:205-206)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 4 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR TASAWUF
Syair tasawuf, syair dengan tema cerita tentang hakikat ketuhanan, seperti Syair Saraba Ampat karangan Datu Sanggul (Abdush Shamad al Palimbangi), dan Syair Tuhan Kasih Kapada Kita.
SYAIR SARABA AMPAT
Allah jadikan saraba ampat
Syariat tharikat hakikat marifat
Menjadi satu di dalam khalwat
Rasa nyamannya tiada tersurat
Huruf ALLAH ampat banyaknya
Alif I’tibar daripada Zat-Nya
Lam awal dan akhir sifat dari Asma-Nya
Ha isyarat dari Af’al-Nya
Jibrik Mikail malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail Israfil rupa pasangannya
I’tibar sifat Qahar dan Kamal
Jabarail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Allah itu artinya
Jalallullah bahasa Arabnya
Nur Muhammad bermula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itu Muhammad dengan Tuhannya
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Menjadi awak berupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah
Manusia lahir ke alam insan
Di alam Ajsam ampat bakawan
Si Tubaniah dan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariah
Rasa dan akal daya dan nafsu
Di dalam raga nyata bersatu
AKU meliput segala liku
Matan hujung rambut ke hujung kuku
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang zhahir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adany
Alam shagir itu sabutnya
Mani manikam Madi dan Madzi
Titis ,anitis jadi manjadi
Si anak Adam balaksa kaul
Hanya yang tahu Allahhu Rabbi
(Tim Sahabat, 2006:70-71)
TUHAN KASIH KAPADA KITA
Tuhan kasih kapada kita
Sasungguhnya gaib tiada nyata
Tiada malihat nang picak mata
Urang nang kanal mamandang nyata
Siapa malihat darajat diangkat
Dangan Tuhannya sungguh malihat
Mahabarakan tiada hingkat
Itulah urang nang banar-banar karamat
Cubalah rasa dilihat-lihat
Barasih hati janganlah rigat
Dikanal diri dangan hakikat
Pinandu diri tajalli zat
Kapada Tuhan handaklah kanal
Tarikat dzikir dibuat mudal
Jangan diturut hati nang babal
Supaya banyak babuah amal
Sumbahyang dzikir bukan balaku
Hakikat hatinya hanya Tuhanku
Sakalian pakarjaan tiada dikaku
Tuhan tajalli hilanglah aku
Urang nang malihat akan Tuhannya
Karena khusuk mata akalnya
Dangan nang picak mata hatinya
Tiada satunju urang kaduanya
Arti hakikat talalu pangar
Dicala urang tiada didangar
Bila difitnah hati pun sabar
Hakikat makrifat tak mau takitar
Masuk khalwat dzikir
Kapada Tuhan disuruh hampir
Kasap mamandang nang ghaib dzahir
Guru mursid dicari galih
Ulama dzahir mancari pakulih
Mamaham kitab alih ba-alih
Dangan nang banar biar salisih
Dari dahulu sampai sakarang
Tiada nang malindungi sasuatu barang
Ia balindung di alam tarang
(Sunarti dkk, 1978:205-206)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
PUISI BANJAR GENRE LAMA BERJENIS SYAIR SINDIRAN
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 4 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
CONTOH SYAIR SINDIRAN
Syair sindiran, syair dengan tema cerita tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang layak gugat atau layak kritik. Namun, gugatan atau kritikan dimaksud disampaikan melalui bahasa sindiran (baik sindiran halus atau bahkan sindiran kasar), seperti Syair Galuh Karuang.
SYAIR GALUH KARUANG
Tarsabut pula Bayang Bastari
Tunduk manangis di kursi sari
Tarcinta Karuang muda parlinti
Bayan bapangsar sabagai mati
Galuh Karuang kakasih cinta
Alis saparti tulisan pata
Sadang mancari sajagat nata
Karuang jua di mata-mata
Gundah hatinya batambah rawan
Bahampas-hampas di dalam paraduan
Pikirannya tiada lagi karuan
Tarcinta Karuang amas tampawan
Hatinya Bayan tiadalah sanang
Sabab tarcinta Galuh Karuang
Siang dan malam masih taganang
Rasanya tiada baumur panjang
Hatinya Bayan sudah taikat
Pada Karuang muda nang cakap
Biar babagai panawar ubat
Janganlah sanang batambah girat
Karana akan Galuh Karuang
Tatalu patut lawan dipandang
Parsis nangkaya bulang nang tarang
Matanya landap nangkaya bintang
Bahunya bidang pinggangnya laris
Anak rambutnya malanak wilis
Mukanya nangkaya bulan sahiris
Eluk majelis patut dipandang
Tangannya lantik bagai dikadang
Gulunya langgak laksana wayang
Sirih dimakan babayang-bayang
Cih-cih amas intan parimantan
Timbang apalah abdi nang lata
Rasanya hancur sagala anggota
Daripada sangat manaruh cinta
Bayan tiada karuan pikir wan rasa
Tarcinta untung kadangan takdir
Dibawa bajalan hulu dan hilir
Dangan air mata juga mangalir
Bajana Allah untung tuanku fakir
Baginilah juga balalawasan
Tarcinta Karuang muda parawan
Rasanya hilang nyawa di badan
Rasanya lunglai tulang bilulang
Rasanya hilang ruh sumangat
Lamah sagala tulang wan urat
Tarcinta Karuang Kasuma Ningrat
Payahlah diri jadi mudarat
Kalau bagini sapanjang-panjang
Diri rasanya tiada tasandang
Sangat tarcinta Galuh Karuang
Baiklah mati diriku garang
Cih-cih amas kasuma ratu
Sabagai bala rasa hatiku
Jika tiada supan wan malu
Pasti kubawa pada pangulu
Bayan Bacinta malam wan siang
Mudahan bajudu lawan Karuang
Tiada lama satumat barang
Sabab nin sudah tasambat urang
Ya Allah amas hatiku rindu
Sabagai amas dipandang pinandu
Manis saparti nangkaya madu
Mudahan kiranya lakas bajudu
Ya Allah Karuang urang babangsa
Hamba nang hina timbanglah rasa
Saumur hidup tiadalah bisa
Mudahan mati takana siksa
Jika umpama pudak wan pandan
Galuh Karuang muda parawan
Ditimang-timang diparmainakan
Dipaluk dicium atas ribaan
Sakit hati bukan sabagai
Urat wan tulang pun rasanya rakai
Bukannya kurang pakai wan kurang makan
Sabab nin maksud baluman sampai
Bayan bapikir di dalam hati
Taganang Karuang muda parlinti
Handak badatang supan sandiri
Lalu mamanggil Sarindit Padi
Aduhai saudaraku Sarindit sungsang
Tuan kupinjam nang ka subarang
Tidakan lama satumat barang
Manukuniakan Galuh Karuang
Aduhai saudaraku Sarindit Padi
Galuh Karuang kiranya sudi
Bawakan rupiah sapuluh bigi
Tanda mangikat tanda nang pasti
Jikalau kakanda ka subarang situ
Tunjukkan kupiah sapuluh buku
Kapada Karuang kasuma ratu
Tandanya mau lawan diaku
Sarindit basigra manyahut kata
Ditanyai saja supaya nyata
Gampang sakali mambuang harta
Kakanda dahulu mandangar pata
Sarindit malayang ka subarang
Mambasuh muha singgah di batang
Lalu naik ka muhara lawang
Sigra ditagur ulih Karuang
Karuang bakata dangan palahan
Duduk ka mari apalah tuan
Dangan Sarindit bahahadapan
Satalah itu manjulung puan
Galuh Karauang manjulung puan
Manginang sirih maambil puan
Sirihnya karing tiada karuan
Katuyung tulang bangkaian
Sarindit manyabut pada sakarang
Jangan bagitu kata pun kakang
Sirihnya hidup lagi bagagang
Gambirnya wangi kapurnya latang
Bakata pula Galuh Karuang
Apakah karja ka mari datang
Adakah gawi kakang bailang
Bulih katakan kakang sakarang
Sigra manyahut Sarindit Padi
Datang ka mari basarah gawi
Bukannya ada nang kita gawi
Bita disuruh Bayan Bastari
Galuh Karuang hatinya hiran
Apakah maksud kakanda Bayan
Datang ka mari basusuruhan
Apakah tuan nang kakurangan
Sarindit manyahut sambil manginang
Bayang manyuruh pada pun kakang
Manakuniakan Galuh Karuang
Kalunya mau bulih badatang
Sarindit sangat pandai bakata
Harum manis mambawa sabda
Lamah limambut barang carita
Karana handak maminta parhamba
Inilah maksud Bayan Bastari
Handak maminta parhambakan diri
Jikalau tuan kiranya sudi
Palaran pakai mambasuh kaki
Inilah maksud Bayan bangsawan
Handak maminta parhambakan
Jikalau sudi adinda tuan
Jangan kiranya salah ambilan
Tuan pikirkan di dalam kalbu
Akan carita baik bagitu
Jikalau sudah kiranya mau
Inilah kupiah sapuluh buku
Bayan bakirim maminta sampaikan
Kapada Karuang muda bangsawan
Jikalau kiranya tuan parkanankan
Tatapi jangan saling gusaran
Karuang barangkat dangan lastari
Sarta bamamai wan mamisuhi
Aku tiada handak balaki
Lawan Bayan nangkaya babi
Karuang bakata bauling-uling
Lalu barangkat sarta manjaling
Baiklah aku mambari kucing
Aku tak sudi balaki maling
Karuang lari tapih disingsing
Katamu itu saparti anjang
Dalasan kusalai wan kugarinting
Tiada paduli manjarah karing
Mangapa Bayan bagitu lasku
Bayan tiada bandinganku
Rupanya jahat nangkaya hantu
Tiadalah patut lawan diaku
Bayan nin jangan kata bagiatu
Bancinya sangat rasanya aku
Rupanya jahat sangat talalu
Patuk mambalit ka bawah dagu
Karuang bakata talalu banci
Jalan Sarindit ikam kambali
Aku tak mau ma-ambil laki
Patuknya kait nangkaya taji
Burung Sarindit talalu malu
Mandangar Karuang kata bagitu
Patuknya Bayan mambalit dagu
Sama nangkaya lawan diaku
Sarindit marasaakan dirinya
Kalawan Bayan sama patuknya
Dibajah Karuang sangat malunya
Mambajah Bayan mambajah dirinya
(Sunarti dkk, 1978:207-213)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 4 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
CONTOH SYAIR SINDIRAN
Syair sindiran, syair dengan tema cerita tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang layak gugat atau layak kritik. Namun, gugatan atau kritikan dimaksud disampaikan melalui bahasa sindiran (baik sindiran halus atau bahkan sindiran kasar), seperti Syair Galuh Karuang.
SYAIR GALUH KARUANG
Tarsabut pula Bayang Bastari
Tunduk manangis di kursi sari
Tarcinta Karuang muda parlinti
Bayan bapangsar sabagai mati
Galuh Karuang kakasih cinta
Alis saparti tulisan pata
Sadang mancari sajagat nata
Karuang jua di mata-mata
Gundah hatinya batambah rawan
Bahampas-hampas di dalam paraduan
Pikirannya tiada lagi karuan
Tarcinta Karuang amas tampawan
Hatinya Bayan tiadalah sanang
Sabab tarcinta Galuh Karuang
Siang dan malam masih taganang
Rasanya tiada baumur panjang
Hatinya Bayan sudah taikat
Pada Karuang muda nang cakap
Biar babagai panawar ubat
Janganlah sanang batambah girat
Karana akan Galuh Karuang
Tatalu patut lawan dipandang
Parsis nangkaya bulang nang tarang
Matanya landap nangkaya bintang
Bahunya bidang pinggangnya laris
Anak rambutnya malanak wilis
Mukanya nangkaya bulan sahiris
Eluk majelis patut dipandang
Tangannya lantik bagai dikadang
Gulunya langgak laksana wayang
Sirih dimakan babayang-bayang
Cih-cih amas intan parimantan
Timbang apalah abdi nang lata
Rasanya hancur sagala anggota
Daripada sangat manaruh cinta
Bayan tiada karuan pikir wan rasa
Tarcinta untung kadangan takdir
Dibawa bajalan hulu dan hilir
Dangan air mata juga mangalir
Bajana Allah untung tuanku fakir
Baginilah juga balalawasan
Tarcinta Karuang muda parawan
Rasanya hilang nyawa di badan
Rasanya lunglai tulang bilulang
Rasanya hilang ruh sumangat
Lamah sagala tulang wan urat
Tarcinta Karuang Kasuma Ningrat
Payahlah diri jadi mudarat
Kalau bagini sapanjang-panjang
Diri rasanya tiada tasandang
Sangat tarcinta Galuh Karuang
Baiklah mati diriku garang
Cih-cih amas kasuma ratu
Sabagai bala rasa hatiku
Jika tiada supan wan malu
Pasti kubawa pada pangulu
Bayan Bacinta malam wan siang
Mudahan bajudu lawan Karuang
Tiada lama satumat barang
Sabab nin sudah tasambat urang
Ya Allah amas hatiku rindu
Sabagai amas dipandang pinandu
Manis saparti nangkaya madu
Mudahan kiranya lakas bajudu
Ya Allah Karuang urang babangsa
Hamba nang hina timbanglah rasa
Saumur hidup tiadalah bisa
Mudahan mati takana siksa
Jika umpama pudak wan pandan
Galuh Karuang muda parawan
Ditimang-timang diparmainakan
Dipaluk dicium atas ribaan
Sakit hati bukan sabagai
Urat wan tulang pun rasanya rakai
Bukannya kurang pakai wan kurang makan
Sabab nin maksud baluman sampai
Bayan bapikir di dalam hati
Taganang Karuang muda parlinti
Handak badatang supan sandiri
Lalu mamanggil Sarindit Padi
Aduhai saudaraku Sarindit sungsang
Tuan kupinjam nang ka subarang
Tidakan lama satumat barang
Manukuniakan Galuh Karuang
Aduhai saudaraku Sarindit Padi
Galuh Karuang kiranya sudi
Bawakan rupiah sapuluh bigi
Tanda mangikat tanda nang pasti
Jikalau kakanda ka subarang situ
Tunjukkan kupiah sapuluh buku
Kapada Karuang kasuma ratu
Tandanya mau lawan diaku
Sarindit basigra manyahut kata
Ditanyai saja supaya nyata
Gampang sakali mambuang harta
Kakanda dahulu mandangar pata
Sarindit malayang ka subarang
Mambasuh muha singgah di batang
Lalu naik ka muhara lawang
Sigra ditagur ulih Karuang
Karuang bakata dangan palahan
Duduk ka mari apalah tuan
Dangan Sarindit bahahadapan
Satalah itu manjulung puan
Galuh Karauang manjulung puan
Manginang sirih maambil puan
Sirihnya karing tiada karuan
Katuyung tulang bangkaian
Sarindit manyabut pada sakarang
Jangan bagitu kata pun kakang
Sirihnya hidup lagi bagagang
Gambirnya wangi kapurnya latang
Bakata pula Galuh Karuang
Apakah karja ka mari datang
Adakah gawi kakang bailang
Bulih katakan kakang sakarang
Sigra manyahut Sarindit Padi
Datang ka mari basarah gawi
Bukannya ada nang kita gawi
Bita disuruh Bayan Bastari
Galuh Karuang hatinya hiran
Apakah maksud kakanda Bayan
Datang ka mari basusuruhan
Apakah tuan nang kakurangan
Sarindit manyahut sambil manginang
Bayang manyuruh pada pun kakang
Manakuniakan Galuh Karuang
Kalunya mau bulih badatang
Sarindit sangat pandai bakata
Harum manis mambawa sabda
Lamah limambut barang carita
Karana handak maminta parhamba
Inilah maksud Bayan Bastari
Handak maminta parhambakan diri
Jikalau tuan kiranya sudi
Palaran pakai mambasuh kaki
Inilah maksud Bayan bangsawan
Handak maminta parhambakan
Jikalau sudi adinda tuan
Jangan kiranya salah ambilan
Tuan pikirkan di dalam kalbu
Akan carita baik bagitu
Jikalau sudah kiranya mau
Inilah kupiah sapuluh buku
Bayan bakirim maminta sampaikan
Kapada Karuang muda bangsawan
Jikalau kiranya tuan parkanankan
Tatapi jangan saling gusaran
Karuang barangkat dangan lastari
Sarta bamamai wan mamisuhi
Aku tiada handak balaki
Lawan Bayan nangkaya babi
Karuang bakata bauling-uling
Lalu barangkat sarta manjaling
Baiklah aku mambari kucing
Aku tak sudi balaki maling
Karuang lari tapih disingsing
Katamu itu saparti anjang
Dalasan kusalai wan kugarinting
Tiada paduli manjarah karing
Mangapa Bayan bagitu lasku
Bayan tiada bandinganku
Rupanya jahat nangkaya hantu
Tiadalah patut lawan diaku
Bayan nin jangan kata bagiatu
Bancinya sangat rasanya aku
Rupanya jahat sangat talalu
Patuk mambalit ka bawah dagu
Karuang bakata talalu banci
Jalan Sarindit ikam kambali
Aku tak mau ma-ambil laki
Patuknya kait nangkaya taji
Burung Sarindit talalu malu
Mandangar Karuang kata bagitu
Patuknya Bayan mambalit dagu
Sama nangkaya lawan diaku
Sarindit marasaakan dirinya
Kalawan Bayan sama patuknya
Dibajah Karuang sangat malunya
Mambajah Bayan mambajah dirinya
(Sunarti dkk, 1978:207-213)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
PUISI BANJAR GENRE LAMA BERJENIS SYAIR ASMARA
PUISI BANJAR GENRE LAMA
BERCORAK SYAIR ASMARA
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Sayir Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR ASMARA
Syair asmara, syair dengan tema cerita tentang kisah cinta, seperti Tija Diwa (karangan Angka Kalua), Madi Kancana, Siti Zubaidah, Gunung Sari, dan Ganda Kasuma.
SYAIR TIJA DIWA
Inilah mula syair dikarang
Ditulis di kertas wangkang
Ulih pambaca Adi dan Kakang
Syair Panglipur hati nang pusang
Tampatnya di kartas tipis
Kalam dan pina sagan manulis
Hati dan jantung rasa dihiris
Tunduk tingadah bapikir habis
Syair dikarang bukannya latah
Mandam bapikir tunduk tingadah
Hati pusang batambah-tambah
Mudahan sampai nang ditujulah
Mangarang syair barhati syair
Tampat karangnya di sungai ular
Bukannya pandaian atawa pandikar
Hanya mangarang sakadar-kadar
Mangarang syair sakadar-kadar
Tukang bacanya si urang buntar
Minahu kakabar inya baputar
Tampatnya itu di subarang pasar
Syair Tija Diwa ini namanya
Banyak tauladan kita rasanya
Riwayat bahari samuanya
Kita dangar sangat inginnya
Sakarang Tija Diwa bapasan
Barang siapa bersusah pikiran
Manganal ia kapada puhun kaluyunan
Harapakan diparhatiakan
Partama inya bapasan
Ruku timbaku minta tatapakan
Untuk hadirin sakalian
Supaya sanang nang mandangarakan
Kedua inya bapasan
Kapada hadirin nang sakalian
Waktu mambaca jangan bapapandiran
Patah sabilah minta diadakan
Kaampat lagi inya bapasan
Kapada puhun rumah punya gawian
Mambaca syair nang samalaman
Habis makan badaliakan
Mambaca syair sampai dinihari
Anim babunyi baganti-ganti
Tahu riwayat urang bahari
Mangandung tauladan banyak sakali
Cubalah dangan tamjidul gapur
Hatiku bulat sabagai talur
Mandangar syair bahati hancur
Pacahlah sakarang sungai bubur
Habislah sudah Tija Dewa bapasan
Air sacangkir minta adaakan
Untuk pambaca nang dipuhunakan
Sakarang hampir dimulaiakan
Satalah sudah nang damikian
Kita samua baampun-ampunan
Kalau ada salah parkataan
Haraplah sangat dikasihakan
Adapun akan syair ini
Parmulaan hilang tak dapat mancari
Tarsabut Ajar di batas giri
Anaknya dua orang sangat sakti
Nang lanang Puncara Rangin namanya
Gagah barani susah bandingnya
Di atas gunung itu tampatnya
Barsama dangan hamba sahaya
Anak Ajar kadua Purnama Sari
Siwa tarabang di awan tinggi
Rupanya iluk bukan tarpari
Susah bandingnya intiru nagarai
Tarsabut pula satu parkataan
Nini Randa nang disabutakan
Tampat badiam di dalam hutan
Baisi kabun bunga-bungaan
Adapun Tija Diwa
Kapada Rangda ia bakata
Adat niniku urang nang tuha
Cucu barhanti sudilah kira
Rangda manyahut balas kasihan
Kalau cucuku sudi naik turun
Galagar japuk garang junggatan
Hatapnya tiris lantainya patahan
Tija Diwa mamandang hiran
Kapada Rangda urang kasihan
Banyak bakabun bunga-bungaan
Kapul manggis langsat rambutan
Tija Diwa bamandi-mandi
Sambil bakata di dalam hati
Syukurlah aku datang ka mari
Di tangah padang hiwan manari
Tija Diwa dijamuakan
Ulih Rangda di dalam hutan
Makannya banyak bukan buatan
Karana parutnya nang kalaparan
Tija Diwa hiran tacangang
Malihat Rangda mangarang kambang
Satiap hari Rangda badagang
Jalannya jauh jalananya lajang
Tija Diwa bakata pulang
Kapada nini bunda saurang
Jadi satiap hari baulang-ulang
Rangda manyahut lindah kamujang
Tija Diwa baduduk di lawang
Mahadang nininya bajual kambang
Saurang tiada datang bailang
Tija Diwa turun mangarang bunga
Nini Rangda suka tiada takira
Rangda badagang sangat lakunya
Salama ada Tija Diwa di rumahnya
Rangda badagang laku sakali
Samua urang datang mambali
Siapa nini punya karangan ini
Karangannya urang bahari
Rangda bakata dangan palahan
Kapada Radin Muda Bangsawan
Lama bajalan di dalam hutan
Lakas cucu basuram badan
Ada sapalih urang kada parcaya
Mustilah nini ada pambantunya
Katanya Rangda nang sabanarnya
Tiada urang lain nang mangarangnya
Purnama Sari nang disabutakan
Mancium kambang tiada busan
Handak bajalan saurang badan
Ka rumah Rangda ka dalam hutan
Purnama Sari urang tabilang
Mahadap Ajar urang tabilang
Handak parmisi anakda ninguang
Ka rumah Rangda manukar kambang
Ajar manyahut dangan lastari
Aduh anakku intan biduri
Jangalah lama anakda pargi
Dua tiga jam musti kambali
Purnama Sari nang ma-inggihkan
Tiada lama ulun bajalan
Kalu datang anu Rangda kasian
Mambali bunga kambali badan
Purnama Sari turun bajalan
Saurang diri ka dalam hutan
Tiada saurang inya bataman
Hanya mambawa hati dandaman
Purnama Sari datang sakarang
Inya tarabang di awang-awang
Sampai di rumah Rangda tabilang
Purnama Sari mamanggil bukai lawang
Aduh niniku bukai lawang
Ulun datang bahati pusang
Rangda manyahut pada sakarang
Dangan siapa kawan bailang
Purnama Sari manyahut pari
Ulun bailang saurang diri
Tiada takut datang ka mari
Karana hatiku sangat birahi
Rangda malihat hatimya giris
Tuan Putri iluknya manis
Tuan putri tunduk manangis
Hati di dalam rasa dihiris
habar cucu datang ka mari
tiada bakawan saurang diri
Putri manyahut dangan lastari
Kapada Nini Rangda urang bahari
Jadi sudi datang ka mari
Mambali bunga ada sakaki
Bunganya harum sangatnya wangi
Rangda mamandang kanan dan kiri
Purnama Sari namanya putri
Manyahut kata dangan lastari
Kalau ulun tak suka diri
Tentu tiada datang ka mari
Tija Diwa mamandang hiran
Kapada putri muda bangsawan
Sama-sama tabaraung bajajanakan
Di dalam hatinya galugupan
Purnama Sari nang damikian
Dandaman birahi hati kasmaran
Malihat Tija Diwa urang andalan
Hati pusang tabalik nyaman
Tija Diwa manyahut warti
Syukurlah datang kasuma gusti
Nang baik rupa namng baik budi
Panjang tipis pamutus hati
Syukur datang kasuma gusti
Jika datang malah nang kusuluhi
Karena kakanda lama mananti
Barapa bulan barapa hari
Tija Diwa radin bang-bang
Dangan sagara bakata pulang
Apakah habar ratu mas datang
Lakas manyahut intan dikarang
Purnama sari manyahut saba
Basar gawi tuan adinda
Handak mambali bunga suganda
Mabuk kasmaran hati adinda
Bunga kaki nang harum wangi
Namanya itu panglipur hati
Hanyalah itu katuju hati
Mudahan lipur lara baganti
Radin bakata dengan segeranya
Adalah bunga sangat buruknya
Salagi pula tiada baunya
Tiada patut amas ampunnya
Jika bagus kiranya kambang
Tantu sadah dibali urang
Tiada ampunnya intang di karang
Banyaklah sudah urang nang datang
Tuan putri manyahut pula
Biarpun buruk itulah bunga
Hati adinda sangat inginnya
Biar tiada babau kubali juga
Jadi kambang tiada dibali urang
Karena puhun baru bakambang
Adinda mancium mabuk kapayang
Tiada kawa kagi mambuang
Tija Diwa radin pangiran
Hatinya mancium mabuk kapayang
Bakata manis kidung cumbuan
Diwa bapantun nang malipurkan
Bunga taratai namanya pantun
Karangan ulih orang kayangan
Batimbuk hati buah satahun
Guring sakijip nang kaganangan
Bunga kacubung dari halaman
Burung galatik hinggap di tuga
Mimpi sakurung bapapalukan
Panas dingin rasa badanku
Itulah pantun radin pangiran
Bunga pandan karangan tanjung
Jika dapat nang kutampaiakan
Kapada ratu mas tuah bauntung
Manyahut pantun intan parmata
Bunga suganda di dalam kuta
Lagi raja pandusta
Bunyinya habar carita
Manyahut radin bunga bangsawan
Ia bapantun baganti-gantian
Rangda mandangar sukalah badan
Bibir tabalik Rangda mandangarakan
Tija Diwa radinnya mantri
Badakat kapada tuannya putri
Dangan basagara mamigang jari
Aduh amas intan biduri
Jaliwadar jalan kandangan
Taman tiwarung dari halaman
Kalau sahibar bapapandangan
Guring sakurung makalah nyaman
Cih diriku untungnya malang
Banih ditanam tumbuh halalang
Ikam bapanggang batinggal tulang
Main batali disambar halang
kapal di laut ka banuaku
anak angsa mandi barandam
malakal maut ambil nyawaku
tiada kuasa manaruh dandaman
Radin mambujuk putri bangsawan
Ditinang-timang atas ribaan
Dipaluk cium amas tampawan
Karena hati sangan kasabaran
Aduh amas intan parmata
Kalau kiranya kakang badusta
Baik bunuh badan kakanda
Tikam lawan pipi nang kiwa
Putri bakata dangan palahan
Kakanda nang talanjur tangan
Sambil mangibit kiri wan kanan
Talalu gila kakanda tuan
Mambujuk pula radin mantri
Sambil mamaluk tuan putri
Mudahai tacarai diri
Mabuk kasmaran apalah ini
Radin itu putra bangsawan
Batamu hati kasmaran
Tamsil kapal dari lautan
Tiada tahanti nang malayarakan
Satalah sudah bahanti pari
Tija Diwa dan tuan putri
Batamu bacinta gati
Sakarang tiada tasabut lagi
(Syarifuddin R, 1994. Majalah Bandarmasih Banjarmasin)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
BERCORAK SYAIR ASMARA
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Sayir Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR ASMARA
Syair asmara, syair dengan tema cerita tentang kisah cinta, seperti Tija Diwa (karangan Angka Kalua), Madi Kancana, Siti Zubaidah, Gunung Sari, dan Ganda Kasuma.
SYAIR TIJA DIWA
Inilah mula syair dikarang
Ditulis di kertas wangkang
Ulih pambaca Adi dan Kakang
Syair Panglipur hati nang pusang
Tampatnya di kartas tipis
Kalam dan pina sagan manulis
Hati dan jantung rasa dihiris
Tunduk tingadah bapikir habis
Syair dikarang bukannya latah
Mandam bapikir tunduk tingadah
Hati pusang batambah-tambah
Mudahan sampai nang ditujulah
Mangarang syair barhati syair
Tampat karangnya di sungai ular
Bukannya pandaian atawa pandikar
Hanya mangarang sakadar-kadar
Mangarang syair sakadar-kadar
Tukang bacanya si urang buntar
Minahu kakabar inya baputar
Tampatnya itu di subarang pasar
Syair Tija Diwa ini namanya
Banyak tauladan kita rasanya
Riwayat bahari samuanya
Kita dangar sangat inginnya
Sakarang Tija Diwa bapasan
Barang siapa bersusah pikiran
Manganal ia kapada puhun kaluyunan
Harapakan diparhatiakan
Partama inya bapasan
Ruku timbaku minta tatapakan
Untuk hadirin sakalian
Supaya sanang nang mandangarakan
Kedua inya bapasan
Kapada hadirin nang sakalian
Waktu mambaca jangan bapapandiran
Patah sabilah minta diadakan
Kaampat lagi inya bapasan
Kapada puhun rumah punya gawian
Mambaca syair nang samalaman
Habis makan badaliakan
Mambaca syair sampai dinihari
Anim babunyi baganti-ganti
Tahu riwayat urang bahari
Mangandung tauladan banyak sakali
Cubalah dangan tamjidul gapur
Hatiku bulat sabagai talur
Mandangar syair bahati hancur
Pacahlah sakarang sungai bubur
Habislah sudah Tija Dewa bapasan
Air sacangkir minta adaakan
Untuk pambaca nang dipuhunakan
Sakarang hampir dimulaiakan
Satalah sudah nang damikian
Kita samua baampun-ampunan
Kalau ada salah parkataan
Haraplah sangat dikasihakan
Adapun akan syair ini
Parmulaan hilang tak dapat mancari
Tarsabut Ajar di batas giri
Anaknya dua orang sangat sakti
Nang lanang Puncara Rangin namanya
Gagah barani susah bandingnya
Di atas gunung itu tampatnya
Barsama dangan hamba sahaya
Anak Ajar kadua Purnama Sari
Siwa tarabang di awan tinggi
Rupanya iluk bukan tarpari
Susah bandingnya intiru nagarai
Tarsabut pula satu parkataan
Nini Randa nang disabutakan
Tampat badiam di dalam hutan
Baisi kabun bunga-bungaan
Adapun Tija Diwa
Kapada Rangda ia bakata
Adat niniku urang nang tuha
Cucu barhanti sudilah kira
Rangda manyahut balas kasihan
Kalau cucuku sudi naik turun
Galagar japuk garang junggatan
Hatapnya tiris lantainya patahan
Tija Diwa mamandang hiran
Kapada Rangda urang kasihan
Banyak bakabun bunga-bungaan
Kapul manggis langsat rambutan
Tija Diwa bamandi-mandi
Sambil bakata di dalam hati
Syukurlah aku datang ka mari
Di tangah padang hiwan manari
Tija Diwa dijamuakan
Ulih Rangda di dalam hutan
Makannya banyak bukan buatan
Karana parutnya nang kalaparan
Tija Diwa hiran tacangang
Malihat Rangda mangarang kambang
Satiap hari Rangda badagang
Jalannya jauh jalananya lajang
Tija Diwa bakata pulang
Kapada nini bunda saurang
Jadi satiap hari baulang-ulang
Rangda manyahut lindah kamujang
Tija Diwa baduduk di lawang
Mahadang nininya bajual kambang
Saurang tiada datang bailang
Tija Diwa turun mangarang bunga
Nini Rangda suka tiada takira
Rangda badagang sangat lakunya
Salama ada Tija Diwa di rumahnya
Rangda badagang laku sakali
Samua urang datang mambali
Siapa nini punya karangan ini
Karangannya urang bahari
Rangda bakata dangan palahan
Kapada Radin Muda Bangsawan
Lama bajalan di dalam hutan
Lakas cucu basuram badan
Ada sapalih urang kada parcaya
Mustilah nini ada pambantunya
Katanya Rangda nang sabanarnya
Tiada urang lain nang mangarangnya
Purnama Sari nang disabutakan
Mancium kambang tiada busan
Handak bajalan saurang badan
Ka rumah Rangda ka dalam hutan
Purnama Sari urang tabilang
Mahadap Ajar urang tabilang
Handak parmisi anakda ninguang
Ka rumah Rangda manukar kambang
Ajar manyahut dangan lastari
Aduh anakku intan biduri
Jangalah lama anakda pargi
Dua tiga jam musti kambali
Purnama Sari nang ma-inggihkan
Tiada lama ulun bajalan
Kalu datang anu Rangda kasian
Mambali bunga kambali badan
Purnama Sari turun bajalan
Saurang diri ka dalam hutan
Tiada saurang inya bataman
Hanya mambawa hati dandaman
Purnama Sari datang sakarang
Inya tarabang di awang-awang
Sampai di rumah Rangda tabilang
Purnama Sari mamanggil bukai lawang
Aduh niniku bukai lawang
Ulun datang bahati pusang
Rangda manyahut pada sakarang
Dangan siapa kawan bailang
Purnama Sari manyahut pari
Ulun bailang saurang diri
Tiada takut datang ka mari
Karana hatiku sangat birahi
Rangda malihat hatimya giris
Tuan Putri iluknya manis
Tuan putri tunduk manangis
Hati di dalam rasa dihiris
habar cucu datang ka mari
tiada bakawan saurang diri
Putri manyahut dangan lastari
Kapada Nini Rangda urang bahari
Jadi sudi datang ka mari
Mambali bunga ada sakaki
Bunganya harum sangatnya wangi
Rangda mamandang kanan dan kiri
Purnama Sari namanya putri
Manyahut kata dangan lastari
Kalau ulun tak suka diri
Tentu tiada datang ka mari
Tija Diwa mamandang hiran
Kapada putri muda bangsawan
Sama-sama tabaraung bajajanakan
Di dalam hatinya galugupan
Purnama Sari nang damikian
Dandaman birahi hati kasmaran
Malihat Tija Diwa urang andalan
Hati pusang tabalik nyaman
Tija Diwa manyahut warti
Syukurlah datang kasuma gusti
Nang baik rupa namng baik budi
Panjang tipis pamutus hati
Syukur datang kasuma gusti
Jika datang malah nang kusuluhi
Karena kakanda lama mananti
Barapa bulan barapa hari
Tija Diwa radin bang-bang
Dangan sagara bakata pulang
Apakah habar ratu mas datang
Lakas manyahut intan dikarang
Purnama sari manyahut saba
Basar gawi tuan adinda
Handak mambali bunga suganda
Mabuk kasmaran hati adinda
Bunga kaki nang harum wangi
Namanya itu panglipur hati
Hanyalah itu katuju hati
Mudahan lipur lara baganti
Radin bakata dengan segeranya
Adalah bunga sangat buruknya
Salagi pula tiada baunya
Tiada patut amas ampunnya
Jika bagus kiranya kambang
Tantu sadah dibali urang
Tiada ampunnya intang di karang
Banyaklah sudah urang nang datang
Tuan putri manyahut pula
Biarpun buruk itulah bunga
Hati adinda sangat inginnya
Biar tiada babau kubali juga
Jadi kambang tiada dibali urang
Karena puhun baru bakambang
Adinda mancium mabuk kapayang
Tiada kawa kagi mambuang
Tija Diwa radin pangiran
Hatinya mancium mabuk kapayang
Bakata manis kidung cumbuan
Diwa bapantun nang malipurkan
Bunga taratai namanya pantun
Karangan ulih orang kayangan
Batimbuk hati buah satahun
Guring sakijip nang kaganangan
Bunga kacubung dari halaman
Burung galatik hinggap di tuga
Mimpi sakurung bapapalukan
Panas dingin rasa badanku
Itulah pantun radin pangiran
Bunga pandan karangan tanjung
Jika dapat nang kutampaiakan
Kapada ratu mas tuah bauntung
Manyahut pantun intan parmata
Bunga suganda di dalam kuta
Lagi raja pandusta
Bunyinya habar carita
Manyahut radin bunga bangsawan
Ia bapantun baganti-gantian
Rangda mandangar sukalah badan
Bibir tabalik Rangda mandangarakan
Tija Diwa radinnya mantri
Badakat kapada tuannya putri
Dangan basagara mamigang jari
Aduh amas intan biduri
Jaliwadar jalan kandangan
Taman tiwarung dari halaman
Kalau sahibar bapapandangan
Guring sakurung makalah nyaman
Cih diriku untungnya malang
Banih ditanam tumbuh halalang
Ikam bapanggang batinggal tulang
Main batali disambar halang
kapal di laut ka banuaku
anak angsa mandi barandam
malakal maut ambil nyawaku
tiada kuasa manaruh dandaman
Radin mambujuk putri bangsawan
Ditinang-timang atas ribaan
Dipaluk cium amas tampawan
Karena hati sangan kasabaran
Aduh amas intan parmata
Kalau kiranya kakang badusta
Baik bunuh badan kakanda
Tikam lawan pipi nang kiwa
Putri bakata dangan palahan
Kakanda nang talanjur tangan
Sambil mangibit kiri wan kanan
Talalu gila kakanda tuan
Mambujuk pula radin mantri
Sambil mamaluk tuan putri
Mudahai tacarai diri
Mabuk kasmaran apalah ini
Radin itu putra bangsawan
Batamu hati kasmaran
Tamsil kapal dari lautan
Tiada tahanti nang malayarakan
Satalah sudah bahanti pari
Tija Diwa dan tuan putri
Batamu bacinta gati
Sakarang tiada tasabut lagi
(Syarifuddin R, 1994. Majalah Bandarmasih Banjarmasin)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
Minggu, 10 April 2011
PUISI BANJAR GENRE LAMA BERJENIS SYAIR AGAMA
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR AGAMA
Syair agama, syair dengan tema cerita tentang masalah keagamaan, seperti Syair Mayat (karangan Haji Pangeran Musa), dan Syair Limbangan
SYAIR MAYAT
Alkisah tersebut suatu madah
Menghabarkan nyawa tatkala pindah
Tubuh lesu urat pun lemah
Jangan lupa akan dzikir Allah
Tiadalah kami banyak kata
Sekedar mengambil simpun cerita
Kabar ini sudah banyak di peta
Istimiwa di kitab segala pendeta
Tatkala disual Mungkar dan Nangkir
Menjawab tiada lagi berfikir
Itikadnya syah amalnya mahir
Lidahnya fasih menyebut dzikir
Nugraha Tuhan adzidzul ghafur
Ketika mati terasa umpama tidur
Sungguhpun terhantar di dalam kubur
Rasa-rasa berbaring di atas kasur
(Sunarti dkk, 1978:203)
SYAIR LIMBANGAN
Bismillah itu mulanya firman
Telah tersurat maknanya Qur’an
Terang di hati jatuh ke tangan
Dengan takdir nugraha Tuhan
Pahalanya sembahyang tiada kepalang
Sepuluh perkara yang terbilang
Kepada iman menjadi tiang
Lagi di akherat berat ditimbang
(Sunarti dkk, 1978:203)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
Dosen Mata Kuliah Sastra Banjar
PBSID STKIP PGRI Banjarmasin
ETIMOLOGI DAN DEFINISI
Menurut Semi (1993:149), sejarah keberadaan syair di tanah air kita dimulai sejak masuknya agama Islam yang membawa serta kebudayaan Arab. Istilah syair itu sendiri berasal dari bahasa Arab, syu’ur artinya perasaan. Hijaz Yamani (2001:8) berpendapat istilah syair berasal dari bahasa Arab, sya’ara artinya menembang (Yamani, 2001:8)
Karakteristik bentuk fisik syair menurut Semi (1993:149) merujuk kepada 4 unsur, yakni :
1. Jumlah kata dalam satu baris kalimat terdiri atas 4 kosa-kata,
2. Jumlah baris dalam satu baitnya terdiri atas 4 baris,
3. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir dengan pola a/a/a/a, dan
4. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus sebagai isi.
Sementara itu, Zaidan dkk (1994:147) mendefinisikan syair sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir berpola a/a/a/a. Isinya berupa cerita yang mengandung unsur-unsur mite, sejarah, agama, atau cuma berupa cerita rekaan belaka. Sifatnya menghibur dan mendidik.
Istilah syair tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu maka istilah syair langsung diadopsi oleh Tajuddin Noor Ganie (2005) sebagai nama untuk fenomena yang sama yang ditemukannya dalam khasanah puisi rakyat berbahasa Banjar. Sesuai dengan sistem pembentukan istilah yang berlaku dalam bahasa Banjar, istilah syair dinaturalisasikannya menjadi sair.
Definisi syair Banjar menurut versi Tajuddin Noor Ganie (2005) adalah puisi rakyat bertipe hiburan anonim atau bukan anonim yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
BENTUK FISIK DAN BENTUK MENTAL
Konvensi bentuk fisik syair Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 5 unsur fisik, yakni :
1. Bahasa ungkapnya khusus bahasa Banjar,
2. Tipografi audio-visualnya bersifat khusus,
3. Kata nyatanya bersifat khusus,
4. Rimanya bersifat khusus, dan
5. Iramanya bersifat khusus.
Sementara konvensi bentuk mental pantun Banjar yang berlaku khusus dalam khasanah folklor Banjar meliputi 6 unsur mental, yakni :
1. Temanya bersifat khusus,
2. Perasaannya bersifat khusus,
3. Nadanya bersifat khusus,
4. Amanatnya bersifat khusus,
5. Imajinya bersifat khusus, dan
6. Majasnya bersifat khusus.
Pengertian sifat khusus pada konvensi umum bentuk mental syair di atas merujuk kepada segala sesuatu yang identik dengan alam pikiran dan perasaan yang khas orang Banjar di Kalsel.
KLASIFIKASI GENRE/JENIS
Klasifikasi genre/jenis syair Banjar dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni
1. Berdasarkan status hak cipta dan hak warisnya
1) Syair anonim
2) Syair nonanonim
2. Berdasarkan tema dan fungsi sosialnya
1) Syair Asmara
2) Syair Agama
3) Syair Sindiran
4) Syair Tasawuf
SYAIR BANJAR ANONIM
Syair Banjar anonim adalah syair Banjar yang tidak diketahui dengan pasti apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim). Terhadap syair Banjar semacam ini, maka hak cipta dan hak warisnya dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya di seantero daerah Kalsel.
Memang, sebelum etnis Banjar mengenal huruf Arab, syair Banjar diwariskan secara lisan, sehingga lambat laun nama pengarangnya hilang begitu saja dalam proses pewarisannya dari generasi ke generasi.
Syair-syair Banjar anonim dimaksud antara lain : Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Syair Banjar anonim masuk ke dalam khasanah folklor Banjar bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Banjar lainnya yang juga tidak diketahui siapa pemilik hak ciptanya.
SYAIR BANJAR NONANONIM
Syair Banjar nonanonim adalah syair Banjar yang sudah diketahui apa dan siapa pemegang hak cipta dan hak warisnya secara pasti. Hal ini disebabkan karena pengarang syair Banjar dimaksud sudah dengan tegas mencantumkan apa dan siapa dirinya pada bagian kolofon syair Banjar karangannya.
Terhadap syair Banjar genre/jenis ini, hak cipta dan hak warisnya tidak lagi dipegang secara kolektif oleh etnis Banjar yang menjadi pendukung keberadaannya, tetapi dipegang secara otomatis oleh pengarangnya yang bersangkutan.
Syair Banjar nonanonim mulai dikenal sejak tahun 1526. Hal ini berkaitan dengan proklamasi Kerajaan Banjar oleh Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526. Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama yang menjadikan ajaran agama Islam sebagai ideologi negara
Sejak itu warga negara Kerajaan Banjar mulai berkenalan dengan aksara Arab. Melalui bimbingan para ulama yang didatangkan dari Kerajaan Demak, warga negara Kerajaan Banjar belajar menulis dan membaca aksara Arab.
Pada mulanya keterampilan membaca dan menulis aksara Arab itu dipergunakan untuk kepentingan mempelajari ajaran agama Islam yang baru mereka anut.
Tapi dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Arab juga dijadikan sebagai aksara untuk menuliskan segala hal, termasuk di dalamnya menulis karya sastra berbentuk syair Banjar.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan sikap mental yang sangat drastis di kalangan para penulis syair Banjar. Di antara mereka sudah ada yang berani mencantumkan nama dan riwayat hidupnya (dalam bentuk kolofon) di dalam teks syair Banjar tulisannya.
Sejak itu, syair Banjar tidak lagi bersifat anonim, tapi sudah menjadi karya sastra yang hak ciptanya dipegang secara perorangan oleh para penulisnya.
Tradisi pencatuman nama penulis pada syair-syair berbahasa Banjar ini setidak-tidaknya sudah terjadi pada saat Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam pada tahun 1825-1860.
Syair-syair klasik berbahasa Banjar yang dituliskan pada masa-masa ini antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Nagananti (Anang Mayur Babirik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), dan Syair Tijsa Diwa (Angka Kalua)
Syair Banjar nonanonim dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar klasik yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya karya sastra Banjar modern.
SYAIR AGAMA
Syair agama, syair dengan tema cerita tentang masalah keagamaan, seperti Syair Mayat (karangan Haji Pangeran Musa), dan Syair Limbangan
SYAIR MAYAT
Alkisah tersebut suatu madah
Menghabarkan nyawa tatkala pindah
Tubuh lesu urat pun lemah
Jangan lupa akan dzikir Allah
Tiadalah kami banyak kata
Sekedar mengambil simpun cerita
Kabar ini sudah banyak di peta
Istimiwa di kitab segala pendeta
Tatkala disual Mungkar dan Nangkir
Menjawab tiada lagi berfikir
Itikadnya syah amalnya mahir
Lidahnya fasih menyebut dzikir
Nugraha Tuhan adzidzul ghafur
Ketika mati terasa umpama tidur
Sungguhpun terhantar di dalam kubur
Rasa-rasa berbaring di atas kasur
(Sunarti dkk, 1978:203)
SYAIR LIMBANGAN
Bismillah itu mulanya firman
Telah tersurat maknanya Qur’an
Terang di hati jatuh ke tangan
Dengan takdir nugraha Tuhan
Pahalanya sembahyang tiada kepalang
Sepuluh perkara yang terbilang
Kepada iman menjadi tiang
Lagi di akherat berat ditimbang
(Sunarti dkk, 1978:203)
FUNGSI SOSIAL SYAIR BANJAR
Di kalangan etnis Banjar di Kalsel, syair Banjar dituturkan dalam bentuk pertunjukan rakyat yang digelar untuk mengisi malam hiburan rakyat (karasmin).
Kegiatan komunal yang sering dimeriahkan dengan acara pembacaan syair Banjar antara lain peringatan hari-hari besar tertentu, kampanye partai politik, penyuluhan sosial, pasar malam, pesta adat, pesta panen, dan saprah amal.
Selain itu, syair juga dibacakan dalam rangka menghibur para tamu yang menghadiri acara perkawinan, menyambut kelahiran anak, khitanan, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat, kaul, atau nazar.
Forum hiburan dalam bentuk penuturan syair Banjar ini ada yang bersifat eksibisi (pertunjukan hiburan biasa), yang disebut basyairan, dan ada pula yang bersifat kompetisi (ajang pertunjukkan adu tangkas atau adu kreatif), yang disebut baturai syair.
SISTEM SOSIAL DAN STATUS SOSIAL PANYAIRAN
Berkaitan dengan tradisi basyairan dan baturai syair ini, setiap desa di Kerajaan Banjar ketika itu, setidak-tidaknya memiliki seorang warga desa yang secara khusus menekuni karir sebagai seniman penutur syair Banjar, yang disebut panyairan.
Selain bertugas sebagai seniman penghibur rakyat pada forum basyairan, seorang panyairan ketika itu juga bertugas mewakili desanya sebagai peserta dalam forum baturai syair.
Panyairan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri. Selain terampil menuturkan syair, seorang panyairan juga dituntut oleh profesinya untuk terampil menabuh gendang syair dengan irama bunyi yang tertentu pula.
Irama lagu tuturan syair dan irama bunyi tabuhan gendang syair tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah dibakukan secara tradisional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang panyairan, yakni :
1. Keterampilan dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik dan bentuk mental syair Banjar,
2. Keterampilan dalam hal mengolah tema atau amanat syair Banjar yang dituturkannya,
3. Keterampilan dalam hal olah vokal ketika menuturkan syair Banjar,
4. Keterampilan dalam hal olah lagu ketika menuturkan syair Banjar,
5. Keterampilan dalam hal olah musik penggiring penuturan syair Banjar (memukul gendang syair), dan
6. Keserasian dalam hal penampilannya sebagai seorang panyairan.
Uji publik atas kompetensi mereka sebagai seorang panyairan profesional dilakukan di dua forum yang berbeda sifatnya, yakni basyairan yang bersifat eksibisi dan baturai syair yang bersifat kompetisi.
Seorang panyairan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan di dalam dua forum ini bukanlah kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
DATU SYAIR DAN PULUNG SYAIR
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi itu membuat para panyairan berusaha memperkuat tenaga kreatifnya melalui cara-cara yang bersifat magis, akibatnya profesi panyairan ketika itu termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan para panyairan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Syair.
Konon, berkat pulung inilah seorang panyairan dapat mengembangkan bakat dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai panyairan, karena pulung hanya diberikan oleh Datu Syair kepada panyairan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Syair adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat.
Datu Syair diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal syair di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan pulung dilakukan dalam suatu ritus adat yang disebut aruh pantun pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Syair diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak baboreh secukupnya.
Jika Datu Syair berkenan menghadirinya, maka panyairan yang mengundangnya akan kesurupan (trance) selama beberapa saat.
Sebaliknya, jika panyairan tak kunjung kesurupan (trance), maka itu berarti mandatnya sebagai panyairan sudah dicabut oleh Datu Syair.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mundur dengan sukarela dari panggung baturai syair dan lengser ke prabon sebagai rakyat biasa yang tidak punya keahlian apa-apa.
Pada zaman sekarang ini, syair berbahasa Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional.
Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum baturai syair yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para panyairan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Syair Banjar sekarang ini cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat, atau dalam naskah-naskah tausiyah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai berusaha menghidupkan syair kembali.
Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi syair di berbagai kesempatan formal (informal), memperkenalkannya melalui melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berusaha memasukannya sebagai bahan pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel.
BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1991. Jati Diri Syair Rakyat Etnis Banjar. Banjarmasin : SKH Dinamika Berita, Edisi 17 November 1991.
R, Syarifuddin. 1994. Menyusuri Kembali Penulisan Syair dan Pembacaan Syair. Banjarmasin : Dewan Kesenian daerah Kalimantan Selatan. Majalah Bandarmasih, Nomor 2/September/1994. Halaman 11-14, dan Nomor 3/Oktober/1994. Halaman 11-12 bersambung ke halaman 19.
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh dkk, Idwar. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Penerbit Angkasa. Cetakan II.
Sunarti dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yamani, Hijaz. 2001. Masa Depan Sastra Banjar di Kalsel. Banjarmasin : Tabloid Wanyi, Nomor 36/Tahun II/16-31 Januari 2001, hal 8.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.
Langganan:
Postingan (Atom)